Senin, 30 November 2009

Yurisprudensi Kekuatan Pembuktian Akta

  1. Putusan MA-RI No. 50.K/Sip/1962, tanggal 7 Juli 1962 :

    Tentang bukti surat yang tidak disangkal.

    Dengan tidak menggunakan alat pembuktian berupa saling tidak disangkalnya isi surat-surat bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak, Judex facti tidak melakukan peradilan menurut cara yang diharuskan oleh Undang-Undang, maka putusannya harus dibatalkan;

  2. Putusan MA-RI No.74.K/Sip/1955, tanggal 11 September 1975 :

    Apabila isi surat dapat diartikan dua macam, ialah menguntungkan dan merugikan bagi penandatangan surat itu, penandatanganan ini patut dibebani untuk membuktikan Positumnya;

  3. Putusan MA-RI No.1122.K/Sip/1971, tanggal 22 Oktober 1975 :

    Bukti surat kwitansi itu (P.1. merah), tidaklah merupakan suatu ikatan sepihak di bawah tangan, oleh karena kwitansi itu tidak seluruhnya ditulis oleh Tergugat/ Pembanding sendiri ataupun paling sedikit selain tanda tangan harus ditulis dengan tangan Tergugat/Pembanding sendiri suatu persetujuannya yang memuat jumlah uang yang telah diterima;

  4. Putusan MA-RI No.983.K/Sip/1972, tanggal 28 Agustus 1975 :

    Kwitansi yang diajukan oleh Tergugat sebagai bukti, karena tidak bermaterai, oleh Hakim dikesampingkan;

  5. Putusan MA-RI No.701.K/Sip/1974, tanggal 1 April 1976 :

    Karena Judex facti mendasarkan putusannya melulu atas surat-surat bukti yang terdiri dari foto-foto copy yang tidak secara sah dinyatakan sesuai dengan aslinya, sedang terdapat diantaranya yang penting-penting yang secara substansial masih dipertengkarkan oleh kedua pihak, Judex facti sebenarnya telah memutuskan perkara ini berdasarkan bukti-bukti yang tidak sah;

  6. Putusan MA-RI No.167.K/Sip/1959, tanggal 20 Juni 1959 :

    Surat bukti pinjam uang yang diakui tanda tangannya tetapi disangkal jumlah uang pinjamannya, dapat dianggap sebagai permulaan pembuktian tertulis;

  7. Putusan MA-RI No.3901.K/Pdt/1985, tanggal 29 Nopember 1988 :

    Surat bukti yang merupakan pernyataan belaka dari orang-orang yang memberi pernyataan tanpa diperiksa di persidangan (P.III), tidak mempunyai kekuatan pembuktian apa-apa (tidak dapat disamakan dengan kesaksian);

  8. Putusan MA-RI No.383.K/Sip/1971, tanggal 3 Nopember 1971 :

    Tidak dimintakannya pembatalan Sertifikat Hak Milik (SHM), dalam hal ini tidak mengakibatkan tidak dapat diterimanya gugatan.

    Menyatakan batal surat bukti hak milik yang dikeluarkan oleh instansi Agraria (sekarang : Kantor Badan Pertahanan) secara sah tidak termasuk wewenang Pengadilan melainkan semata-mata termasuk wewenang Pengadilan melainkan semata-mata termasuk wewenang administrasi/

    Pembatalan surat bukti hak milik harus diminta oleh pihak yang dimenangkan Pengadilan kepada instansi Agraria berdasarkan putusan Pengadilan yang diperolehnya;

  9. Putusan MA-RI No.3738.K/Pdt/1987, tanggal 14 Pebruari 1990 :
    1. Wewenang Mahkamah Agung untuk menjatuhkan Putusan Sela dan menambah pemeriksaan sendiri. Apabila dianggap perlu Mahkamah Agung sebelum menjatuhkan Putusan Akhir dapat menjatuhkan Putusan Sela. Dalam perkara ini Putusan Sela dijatuhkan untuk melakukan pemeriksaan tambahan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sendiri;
    2. Oleh karena surat-surat yang diajukan sebagai bukti adalah surat-surat palsu, maka penggugat dianggap telah tidak berhasil membuktikan dalil gugatannya;
  10. Putusan MA-RI No.4069.K/Pdt/1985, tanggal 14 Juli 1987 :

    Kekuatan bukti Akta di bawah tangan.

  • Untuk memenuhi perumusan dalam Undang-Undang seyogyanya dalam pertimbangan yang terlepas daari dalam Kasasi yang diajukan ditambahkan bahwa hal itu dilakukan berdasarkan alasan kasasi Mahkamah Agung sendiri;
  • Nampak kwitansi dianggap sebagai akta di bawah tangan yang bersifat sepihak dan kewajiban untuk melunaskan hutangnya (Pasal 291 ayat(1) RBg).
  • Untuk Jawa dan Madura Stb. 1867-29 tanggal 14 Maret 1967 tentang kekuatan bukti akta di bawah tangan orang Indonesia dan yang disamakan dengan orang Indonesia.

Tidak ada komentar: