Minggu, 13 Desember 2009

Bentuk Syukur Nikmat

Pernah kita berusaha untuk menghitung Nikmat yang telah Allah berikan, kepada kita, niscaya kita tidak akan mampu menghitungnya, namun apakah kita pernah bersyukur atas segala nikamt yang telah Allah berikan. Mungkin tulisan ini akan membantu kita mensyukuri nikmat Allah,

Beberapa bentuk tanda syukur kepada Allah, dari dialog Abu Hazim Salmah Bin Dinar yang menanyakan kepada Ibnu Abi Ad-dun adalah sebagai berikut : (diambil dari buku Luqman Junaidi,The Power of Wirid, Hikmah (Mizan Republika), 2007, hal 137-139);

Syukur Mata adalah mengumumkan kebaikan yang dilihat kepada orang lain, dan menyembunyikan keburukan yang dilihat dari orang lain,

Syukur Telinga adalah menyimak dengan tekun kebaikan yang ditangkap dengan telinga, dan menghindari keburukan yang ditangkap dengan telinga,

Syukur Tangan adalah jangan mengambil sesuatu yang bukan hakmu, dan jangan mencegah sesuatu yang memang menjadi hak tanganmu,

Syukur Perut adalah jika dibagian bawah terisi makanan, dan yang bagian atasnya dipenuhi ilmu pengetahuan,

Syukur Kemaluan adalah sebagaimana firman Allah dalam surat AL Mu'minun (23) 5-7, " dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal tidak tercela; barang siapa mencari yang dibalik itu maka mereka itu orang yang melampaui batas;

Syukur Kaki adalah ketika melihat jenazah orang yang dikagumi pergunakan kaki itu untuk beramal sepertinya, dan ketika melihat jenazah orang yang kau benci cegah kakimu untuk berbuat sepertinya,

Orang yang bersyukur dengan lidahnya saja tidak dengan seluruh anggota tubuhnya, ibarat orang yang punya pakaian dan hanya memegang ujungnya saja tidak mengenakannya, jadi pakaian itu tidak berfungsi untuk melindunginya dari panas dan dingin.

Bentuk syukur diatas, dilanjutkan oleh Luqman Junaidi dalam buku yang sama sebagai berikut:

Syukur Harta adalah membelanjakannya dijalan Allah SWT, sebagaimaa dalam firmannya : "Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah laksana sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada setiap bulir seratus biji, Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia Kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Tahu" (QS. AL Baqarah (2) : 261);

Syukur Jabatan adalah menjadikannya sarana untuk berdakwah seperti Nabi Sulaiman yang sukses mengislamkan Bilqis ketika menjadi raja;

Syukur Kesehatan adalah memanfaatkannya semaksimal mungkin untuk beribadah, berkreasi dan berprestasi,

Sebagai kunci adalah :

Tanyakan pada hati nurani anda setiap hendak melakukan sesuatu perbuatan, "Apakah ALLAH ridha aku pergunakan Nikmat-Nya untuk berbuat seperti ini?". Kalau menurut hati kecil Kita perbuatan itu baik dan diridhai ALLAH. Silahkan teruskan, tapi kalau tidak, jangan sekali-kali anda salahgunakan nikmat-Nya, Ingat Hati nurani tidak bisa dibohongi, Hati Nurani pasti membenarkan perbuatan baik dan mengingkari perbuatan jahat. Hati Nurani Bukan Akal yang bisa diperdaya dengan setumpuk Argumentasi yang memuaskan. HATI NURANI adalah penasehat yang jujur tempat kita bertanya. "HATI NURANI takkan pernah mendustakan apa yang dilihatnya'


 


 


 

Selasa, 08 Desember 2009

PENERAPAN PIDANA MATI DI INDONESIA

Dibandingkan Pelaksanaanya Hukuman Mati Di Jepang


 


 

PENDAHULUAN

    Hukuman mati merupakan suatu hal yang kontroversial, karena masyarakat dunia menuntut adanya penegakan hak-hak asasi manusia, diantaranya hak untuk hidup, secara murni dan konsekuen. Tetapi kenyataannya, masyarakat bisa dengan tenangnya melihat seorang terpidana ditembak mati. Misalnya seperti yang dialami oleh Astini, terpidana mati kasus mutilasi yang ditembak mati oleh regu tembak Brimob Polda Jawa Timur sementara ia sangat berharap dapat tetap hidup untuk berubah dan memperbaiki kehidupannya.

Sebagian kalangan berpendapat, hukuman mati tidak boleh dijatuhkan karena bertentangan dengan hak asasi seorang manusia. Sedangkan sebagian lagi beranggapan, hukuman mati sah-sah saja dilakukan dan merupakan hukuman yang setimpal sebagai akibat dari suatu pebuatan yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dan merugikan masyarakat, serta tindakan dan akibat dari tindakan pelakunya lebih bertentangan dengan HAM dibandingkan dengan hukuman mati itu sendiri.     

Sebagaimana yang diungkapkan mantan menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra. Ia mengklaim bahwa hukuman mati merupakan bagian yang sah dari sistem hukum nasional. Ia melandasi argumennya pada analisa biaya-keuntungan. Biaya yang ditanggung abolisi hukuman mati tidak setimpal dengan keuntungan yang diperoleh. Mantan menteri kehakiman lainnya, Muladi, berkeyakinan sama. Baginya, korban yang ditimbulkan pelaku justru merupakan pelanggaran HAM yang lebih besar ).     

Sementara Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol Togar Sianipar juga menyatakan persetujuannya terhadap hukuman mati. Menurutnya, semua etnis di dunia ini mengenal hukuman mati. "Artinya masyarakat itu mengerti dan setuju terhadap hukuman itu," katanya ).

Tantangan datang dari aktivis Hak Asasi Manusia. Ade Lesmana dari LBH Medan memprotes pelaksanaan hukuman mati terhadap dua terpidana asal Thailand, Namsong Sirilak dan Sealow Prasad. Protes itu didasarkan UU No 12/1995 tentang pemasyarakatan. Berdasar UU itu, fungsi lembaga pemasyarakatan adalah pembinaan perilaku ke arah lebih baik, bukan membinasakan. Mantan Sekjen Komnas HAM, Asmara Nababan, menganggap hukuman mati sebagai inkonstitusional. Baginya, hukuman mati adalah pelanggaran konstitusi, khususnya pasal 28i. Pasal itu menyebutkan, hak hidup tiap orang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun Pelaksanaan hukuman mati, baginya, menunjukkan inkonsistensi dalam sistem hukum kita ).

    Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara tidak setuju diberlakukan hukuman mati. Ia menilai hukuman mati inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945. "Hak hidup adalah hak konstitusional. Pasal 9 ayat 1 UUD 1945 menyatakan setiap orang berhak hidup dan meningkatkan taraf hidupnya," tandas Abdul Hakim dalam diskusi "Masih Perlukah Hukuman Mati di Indonesia" di Gedung The Habibie Center, Jl. Kemang, Jakarta, Rabu (1/9/2004). Abdul Hakim juga mengkritisi hukuman mati lebih banyak diberlakukan kepada orang-orang kecil yang tidak bisa membayar lawyer yang kuat. Ditambahkannya, pelaksanaan hukuman mati membutuhkan biaya yang mahal dibandingkan hukuman seumur hidup. "Contohnya di Carolina itu menghabiskan 2,16 juta dolar AS per eksekusi," jelas Garuda ).

Diungkapkan, sejumlah negara seperti Australia telah menghapuskan hukuman mati. Di Filipina, hukuman mati baru boleh diberlakukan bila kejahatan dianggap sangat serius dan ada alasan yang memaksa.

Sekontroversial apapun hukuman mati itu dengan segala pertimbangan dan untung ruginya, serta bagaimanapun bentuk penolakan masyarakat terhadap hukuman mati, toh negara-negara di dunia masih memberlakukan sanksi pidana hukuman mati didalam system hukum pidana mereka. Jepang, Indonesia, bahkan Amerika Serikat sendiri pun masih memberlakukan hukuman mati. Bahkan Indonesia sendiri sudah mengeksekusi sebanyak 34 orang sejak tahun 1978.

Bahkan di beberapa negara seperti di Afrika, hukuman mati boleh dilakukan terhadap mereka yang telah mencoreng nama baik keluarga. Dan tindakan ini dilakukan oleh anggota keluarganya.

Disisi lain, hukuman mati sudah dihapus secara de jure atau de facto oleh 106 negara. Sekitar 30 negara sudah menghapusnya sejak tahun 1990 ).

Belanda sebagai negara yang peraturan hukumnya kita berlakukan di Indonesia. Bahkan sejak berlakunya undang-undang tanggal 17 September 1870 Stb. 162 sudah menghapus hukuman mati tetapi untuk hukum pidana militer jenis pidana ini masih dipertahankan, khusus untuk kejahatan-kejahatan berat yang dilakukan pada masa perang, yaitu dengan dikaitkan pada syarat bahwa hal itu berdasarkan pertimbangan hakim dituntut oleh kepentingan Negara.

Tetapi kemudian berdasarkan amandemen Undang-undang Dasar Belanda yang diberlakukan tanggal 17 Februari 1983 Pasal 114 ditetapkan bahwa pidana mati (oleh hakim) tidak lagi dapat dijatuhkan ).

Terlepas dari segala kontorversi yang telah diuraikan diatas, ada dua hal yang akan dibahas dalam tugas ini, penulis akan berusaha membandingkan sistem pidana mati yang ada di jepang dan tindakan bagaimana untuk mencegah pidana mati


 

  1. Hukuman Mati di dalam Sistem Pidana Jepang

    Sistem hukum pidana Jepang di dalam kitab undang-undang hukum pidananya mengenal pidana mati atas beberapa tindak pidana tertentu. Hukuman mati tersebut berupa hukuman gantung dan sampai saat eksekusi tiba, terpidana tersebut dikurung di penjara.

Tindak pidana yang dikenai hukuman mati di dalam sistem pidana Jepang terdapat pada Buku II Kejahatan (Delik)):

  1. Pasal 77 mengenai pemberontakan :

"Seseorang yang menciptakan suatu kekacauan dengan tujuan untuk menggulingkan Pemerintah, merampas kedaulatan teritorial Negara, atau dengan cara lain menggulingkan Konstitusi Nasional, melakukan pemberontakan dan akan dipidana sesuai dengan perbedaan berikut:

  1. Pemimpin gerombolan akan dipidana dengan pidana mati atau penjara tanpa kerja paksa seumur hidup;
  2. ..."


 

  1. Pasal 81 mengenai Pendorongan Agresi Asing :

"Seseorang yang didalam komplotan dengan suatu negara asing menyebabkan dipergunakannya angkatan bersenjata terhadap Jepang akan di pidana mati"


 

  1. Pasal 82 perihal Membantu musuh :

"Seseorang yang pada waktu suatu negara asing mempergunakan angkatan bersenjata terhadap Jepang memihak kepada negara tersebut dengan mengambil bagian di dalam dinas militer negara tersebut, atau dengan cara lain memberi keuntungan militer kepada negara tersebut, akan dipidana dengan pidana mati atau dengan penjara kerja paksa seumur hidup atau tidak kurang dari dua tahun".


 

  1. Pasal 108 perihal Pembakaran Bangunan yang didiami :

"Seseorang yang menyulut api pada dan membakar bangunan, kereta api, kereta listrik, perahu atau tambang yang sesungguhnya digunakan untuk kediaman manusia atau orang sungguh-sungguh hadir didalamnya, diancam pidana mati atau penjara kerja paksa seumur hidup atau tidak boleh kurang dari 5 tahun"


 

  1. Pasal 119 mengenai tindakan Menghancurkan bangunan dengan genangan air :

"Seseorang yang menyebabkan banjir dan karenanya menghancurkan dengan menggenangi suatu gedung, kereta api, kereta listrik atau tambang yang sesungguhnya digunakan untuk kediaman manusia atau orang yang sungguh-sungguh berada didalamnya, diancam dengan pidana mati atau penjara kerja paksa selama hidup atau tidak kurang dari 3 tahun."


 


 

  1. Pasal 126 mengenai tindakan Menggulingkan kereta api dan sebagainya:

"Seseorang yang menggulingkan atau merusak kereta api atau kereta listrik yang ada orang didalamnya diancam pidana dengan penjara kerja paksa seumur hidup atau tidak kurang dari 3 tahun. Hal yang sama akan diterapkan pada seseorang yang membalikkan atau merusak suatu kapal yang ada didalamnya. Seseorang yang dengan melakukan suatu kejahatan yang ditentukan didalam dua paragraph terdahulu dan menyebabkan kematian orang lain, diancam pidana mati atau dengan penjara kerja paksa seumur hidup".


 

  1. Pasal 146 mengenai tindak Menambahkan bahan beracun pada pipa air :

"Seseorang yang menambahkan bahan beracun atau bahan lain yang merugikan kesehatan manusia kepada air jernih atau kepada sumbernya yang diperuntukkan untuk tujuan diminum manusia dan yang disediakan untuk diminum dengan pipa air, diancam pidana penjara kerja paksa untuk jangka waktu terbatas yang tidak kurang dari 2 tahun. Jika terjadi kematian orang lain karenanya, pelanggar diancam pidana mati atau pidana penjara kerja paksa seumur hidup atau selama tidak kurang dari 5 tahun".


 

  1. Pasal 199 mengenai tindak pidana Pembunuhan :

"Seseorang yang membunuh orang lain diancam pidana mati atau penjara kerja paksa seumur hidup atau tidak kurang dari tiga tahun".


 

  1. Pasal 200 mengenai tindak pidana Pembunuhan orang tua secara vertikal keatas :

"Seseorang yang membunuh orang tuanya sendiri secara vertikal keatas atau orang tua istri/suami secara vertikal keatas diancam pidana mati atau penjara kerja paksa seumur hidup".


 

  1. Pasal 241 mengenai tindakan perkosaan pada waktu perampokan;akibat kematian karenanya :

"Apabila seorang perampok memperkosa seorang perempuan akan dikenakan pidana penjara seumur hidup atau tidak kurang dari 7 tahun, dan apabila mengakibatkan kematiannya akan dikenakan pidana mati atau penjara kerja paksa seumur hidup".


 

Berdasarkan Pasal 11 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Jepang yang berbunyi:)

  1. Pidana mati akan dieksekusi dengan jalan digantung di suatu penjara;
  2. Seseorang yang telah dipidana mati akan dikurung di dalam penjara sampai pidana dieksekusi.


 

    Sehingga apabila dilihat dari beberapa tindak pidana didalam KUHPidana Jepang yang diancam hukuman mati, maka memang tindak pidana yang mengancam kedaulatan negara harus tetap diancam dengan hukuman mati karena dapat menganggu ketertiban dan keamanan negara. Tapi bagaimana dengan pengaturan yang terdapat dalam KUHPidana Indonesia, maka selanjutnya akan dipaparkan mengenai pengaturan hukuman mati di Indonesia.


 

  1. Hukuman Mati di dalam Sistem Pidana Indonesia

    Di Indonesia, hukuman mati hingga kini menjadi topik yang selalu hangat untuk dibicarakan. Selalu ada perdebatan pro kontra mengenai pantas tidaknya atau boleh tidaknya hukuman mati dijatuhkan. Ada perdebatan-perdebatan yang menyebutkan bahwa lebih baik seorang terpidana itu mendapatkan hukuman penjara seumur hidup daripada hukuman mati karena mereka akan lebih mendapatkan balasan atau ganjaran yang setimpal atas perbuatan mereka.         Ditengah perdebatan-perdebatan yang panas dan alot mengenai pantas atau boleh tidaknya hukuman mati dijatuhkan, pemerintah Indonesia tetap mengeksekusi mati beberapa terpidana, yang saat ini sedang marak-maraknya adalah hukuman mati yang dijatuhkan terhadap tindakan yang berhubungan dengan narkoba, yaitu Menyelundupkan, memasok maupun menjual narkoba. Salah satu terpidana kasus narkoba yang telah dieksekusi adalah AYODYA Prasad Chaubey, seorang warga negara India berusia 67 tahun telah dijatuhi hukuman mati karena terbukti melakukan penyelundupan heroin ke Indonesia seberat 12,9 kg.

    Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Indonesia juga mengenakan hukuman mati terhadap beberapa tindak pidana atau tindak kejahatan lain, selain terhadap tindakan menyelundupkan, memasok dan menjual narkoba, yang terdapat pada Buku II (Kejahatan) Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah sebagai berikut:)

  1. Pada Bab I Tentang Kejahatan terhadap keamanan negara
    1. Pasal 104 :

      "Makar dengan maksud membunuh Presiden atau Wakil Presiden, atau dengan maksud merampas kemerdekaan mereka atau menjadikan mereka tidak mampu memerintah.."

    2. Pasal 124 ayat (3) :

      Ke-1. memberitahukan pada musuh, menghabcurkan atau merusak sesuatu tempat atau pos yang diperkuat atau diduduki, suatu alat penghubung, gudang persediaan perang, atau kas perang ataupun angkatan laut, angkatan darat atau bagian daripadanya, merintangi, menghalang-halangi atau mengagalkan usaha untuk menggenangi air atau bangunan tentara lainnya yang direncanakan atau diselenggarakan untuk menangkis atau menyerang"


       

      Ke-2 Menyebabkan atau mempelancara timbulnya huruhara, pemberontakan atau desersi dikalangan angkatan perang."


       


       


       

    1. Bab III Tentang kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala Negara sahabat serta wakilnya

Pasal 140 ayat (3):

"Jika makar terhadap nyawa dilakukan dengan rencana serta berakibat maut..."


 

  1. Bab XIX tentang Kejahatan terhadap nyawa

Pasal 340 :

"Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun"


 


 

  1. Bab XXII tentang pencurian

Pasal 365(4) :

"Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan ( pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan, terhdap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau memeprmudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya) mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, ..."


 

  1. Bab XXIX tentang kejahatan pelayaran

Pasal 444 :

"Jika perbuatan kekerasan yang diterangkan dalam pasal 438 (pembajakan dilaut), 439 (pembajakan ditepi laut), 440 (pembajakan di pantai), 441 (pembajakan disungai) mengakibatkan seseorang dikapal yang diserang atau seseorang yang diserang itu mati, maka nakhoda, panglima atau pemimpin kapal dan mereka yang turut serta melakukan kekerasan, diancam dengan pidana mati, atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun."


 

  1. Bab XXIX A. Tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan sarana dan prasarana penerbangan.(UU No. 4 Tahun 1976, LN 1976-26).
    1. Pasal 479k (2):

      "Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara itu, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana ppidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun."


 

  1. Pasal 479o(2) :

    "Jika perbuatan itu (kekerasan terhadap seseorang didalam pesawat udara dalam penerbangan, merusak pesawat udara dalam dinas dan menyebabkan kerusakan, dan menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara didalam dinas) mengakibatkan matinya seseorang, hancurnya pesaat udara itu, dipidana dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup atau pidana selama-lamanya dua puluh tahun"


     

    Pengaturan pelaksanaan Pidana mati di Indonesia diatur dalam Pasal 11 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi:

Pidana mati dijalankan oleh algojo pada tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.


 

Tetapi terjadi perubahan karena dengan keluarnya peraturan pemerintah tentang pelaksanaan eksekusi terpidana mati yang berbunyi bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana mati dengan cara ditembak sampai mati oleh tim regu tembak kepolisian.

    Sedangkan dikarenakan adanya pembaharuan hukum pidana di Indonesia, maka sedang disusun mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru, sehingga didalam KUHPidana tersebut terjadi beberapa perubahan juga mengenai pidana mati. Sedangkan pengaturan mengenai pidana mati tersebut dalam Rancangan KUHPidana tahun 2004 adalah:)

Paragraf 11

Pidana Mati

Pasal 84

Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.

Pasal 85

  1. Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak.
  2. Pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan di muka umum.
  3. Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.
  4. Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.


 

Pasal 86

  1. Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun, jika :
    1. Reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar;
    2. Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki;
    3. Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan
    4. Ada alasan yang meringankan.
  2. Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
  3. Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.


 

Pasal 87

Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan terpidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun bukan karena terpidana melarikan diri, maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden.


 

  1. Perbedaan dan Persamaan Pidana Mati di dalam Sistem Pidana Jepang dan Indonesia.

    1. Perbedaan Pidana Mati di dalam Sistem Pidana Jepang dan Indonesia.

    Perbedaan pengaturan pidana mati di dalam Sistem Pidana Jepang dan Indonesia, yakni:

Pertama, ada beberapa tindak pidana yang diatur dalam hukum Jepang yang diancam pidana mati sedangkan di Indonesia tidak, padahal tindak pidana tersebut mengenai ketertiban umum dan kejahatan di dalam keluarga seperti: Pasal 108 tentang pembakaran bangunan yang didiami, Pasal 119 tentang tindakan menghancurkan bangunan dengan genangan air, serta Pasal 200 tentang tindak pidana pembunuhan orang tua secara vertikal keatas. Tindak pidana tersebut diatas di Indonesia tidak termasuk yang diancam dengan hukuman mati.

Kedua, pelaksanaan eksekusi terpidana mati di dalam KUHPidana Jepang dan di KUHPidana Indonesia terdapat perbedaan, dimana apabila kita lihat seperti apa yang tercantum dalam Pasal 11 KUHPidana Jepang bahwa pelaksanaannya dengan cara terpidana digantung di penjara sedangkan seperti apa yang tercantum Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan eksekusi terpidana mati menyatakan bahwa terpidana mati dieksekusi dengan tembakan oleh regu tembak kepolisian Republik Indonesia.


 

  1. Persamaan Pidana Mati di dalam Sistem Pidana Jepang dan Indonesia.

Persamaan pengaturan pidana mati di dalam Sistem Pidana Jepang dan Indonesia, yakni:

Pertama, Pengaturan Hukuman mati oleh kedua negara ini masih dianut dengan adanya keringanan-keringanan seperti di Jepang bahwa hukuman mati dapat dialternatifkan dengan hukuman seumur hidup atau hukuman kerja paksa seumur hidup, sedangkan di Indonesia dapat dialternatifkan dengan hukuman seumur hidup atau dengan upaya-upaya hukum luar biasa serta pengajuan grasi ke Presiden.

Kedua, beberapa kesamaan terhadap tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati dikedua negara seperti tindak pidana yang mengancam jiwa seseorang dan terhadap kedaulatan negara. Seperti Pasal 77 KUHPidana Jepang mengenai pemberontakan dan Pasal 81 KUHPidana Jepang mengenai Pendorongan Agresi Asing. Sedangkan Pasal 104, Pasal 124 dan Pasal 140 KUHPidana Indonesia mengenai keamanan negara.

  1. Hal-hal yang dapat meringankan pelaksanaan hukuman mati di KUHPidana Jepang dan KUHPidana Indonesia.

    Pelaksanaan hukuman mati di Jepang dan di Indonesia terdapat perbedaan didalam pelaksanaan teknisnya dimana kalau di Jepang dilaksanakan dengan cara digantung sedangkan di Indonesia dengan cara ditembak oleh regu tembak kepolisian Republik Indonesia. Pelaksanaan eksekusi terpidana mati ini dilaksanakan apabila tahap-tahap permohonan keringanan hukuman sudah tidak ada lagi, seperti di Jepang pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana mati dapat dibatalkan apabila terpidana mati dapat diringankan dengan pidana kerja paksa seumur hidup atau penjara seumur hidup.

    Pelaksanaan eksekusi terpidana mati di Indonesia dapat dibatalkan apabila upaya-upaya hukum luar biasa ditolak dan juga permohonan grasi kepada Presiden juga ditolak, tetapi juga hukuman mati dapat diubah dengan hukuman seumur hidup. Dan di Indonesia tidak mengenal pidana kerja paksa seperti apa yang ada di Jepang.


 

KESIMPULAN

  1. Pengaturan mengenai hukuman mati di Jepang maupun di Indonesia terdapat persamaan dan perbedaan, tetapi pada intinya keduanya negara tetap menganut pemberlakuan hukuman mati diantara pro dan kontra pemberlakuan hukuman mati karena adanya hak asasi manusia.
  2. Biarpun kedua negara tetap memberlakukan hukuman mati didalam sistem pidananya tetapi tidak tertutup kemungkinan untuk memberikan keringanan hukuman seperti di Jepang apabila terpidana mati menunjukkan kelakuan baik, maka dapat diubah dengan pidana kerja seumur hidup atau penjara seumur hidup.


 

DAFTAR PUSTAKA


 

Andi Hamzah, KUHP Jepang sebagai Perbandingan, Galian Indonesia, Jakarta, 1986.

Jan Remmelink, Hukum Pidana, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.

Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Rancangan Undang-undang RI tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta, 2004.


 

Perundang-undangan:

Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 1996.


 

Artikel:

Donny Gahral Adian, Mengapa Mesti Hukuman Mati?, Selasa, 22 Maret 2005, Kompas.

Niken Widya Yunita, Ketua Komnas HAM: Hukuman Mati Inkonstitusional, 02/09/2004, Last Update: 06/09/2004.Habibie Centre.

  1. Donny Gahral Adian, Mengapa Mesti Hukuman Mati?, Selasa, 22 Maret 2005, Kompas.


 

  1. Niken Widya Yunita, Ketua Komnas HAM: Hukuman Mati Inkonstitusional, 02/09/2004, Last Update: 06/09/2004.Habibie Centre.


 

  1. Op cit
  2. Op cit
  3. Op cit, Kompas
  4. Jan Remmelink, Hukum Pidana, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal 459
  5. Andi Hamzah, KUHP Jepang sebagai Perbandingan, Galian Indonesia, Jakarta, 1986, Hal. 95.
  6. Ibid
  7. Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hal 43.
  8. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Rancangan Undang-undang RI tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta, 2004, hal 25.


     


 

Senin, 07 Desember 2009

PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERBURUHAN


 

I.    PENDAHULUAN

    Masih segar dalam ingatan kita, ketika ribuan buruh berdemonstrasi menentang diberlakukannya Undang-undang tentang Penyelesaian Hubungan Industrial. Para buruh menolak diberlakukannya Undang-undang tersebut karena dinilai kurang memperhatikan hak-hak buruh dan lebih mementingkan hak-hak pengusaha.

    Terlepas dari masalah apakah para buruh menyetujui atau tidak Undang-undang tentang Penyelesaian Hubungan Industrial tersebut, pada kenyataannya Undang-undang tersebut tetap diberlakukan oleh Pemerintah.

    Dibentuknya Undang-undang ini adalah karena Peraturan yang mengatur tentang penyelesaian hubungan industrial selama ini ternyata belum mewujudkan suatu penyelesaian perselisihan secara cepat, tepat, adil, dan murah. Untuk itulah dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial ditawarkan solusi untuk menyelesaikan perkara penyelesaian hubungan industrial dengan cara tepat, tepat, adil dan murah.

    Bilamana timbul perselisihan antara buruh/pekerja dengan pengusaha, maka seringkali pihak buruh/pekerja menjadi pihak yang lemah dibandingkan dengan pengusaha. Hal ini disebabkan karena secara sosiologis kedudukan buruh/pekerja adalah sebagai penerima pekerjaan, sedangkan kedudukan pengusaha merupakan pemberi kerja. Hal ini berimplikasi pada psikologis baik itu buruh/pekerja maupun pengusaha. Karena anggapan sebagian masyarakat kita pemberi kerja adalah orang yang berkuasa atas penerima kerja sehingga apapun yang diperbuatnya akan sulit untuk disalahkan. Lebih luas lagi dampak yang akan ditimbulkan akibat dari perselisihan tersebut, antara lain adanya pemutusan hubungan kerja yang dapat menambah jumlah pengangguran, ini tidak hanya menjadi masalah pribadi buruh/pekerja tetapi sudah merupakan masalah bangsa dan negara.

    Melihat kedudukan buruh yang seringkali menjadi pihak yang lemah itulah mengapa selain buruh memerlukan perlindungan pemerintah dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang dapat mengakomodasikan kepentingan buruh, buruh juga memerlukan wadah dimana para buruh bisa bergabung untuk dapat mewujudkan aspirasinya dan dapat bertindak bersama-sama bilamana menghadapi konflik kepentingan dengan pengusaha.


 

II SEKILAS SEJARAH PERBURUHAN DI INDONESIA

A.    Zaman Perbudakan

    Hubungan perburuhan sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu dimulai dengan zaman dimana hubungan industrial dilakukan dengan sesuka hati majikan. Pada zaman ini orang yang melakukan pekerjaan di bawah pimpinan orang lain yang disebut budak tidak mempunyai hak apapun. Budak dianggap sebagai barang yang bisa dimiliki dan diperlakukan sesuka hati majikan. Pada tahun 1861 pecah perang antara pihak yang ingin menghapuskan perbudakan dan yang ingin mempertahankan perbudakan tersebut, antara Amerika Utara dan Selatan yang dimenangkan Amerika Utara pada tahun 1865.

B.    Zaman Penjajahan Belanda

    Pada masa penjajahan Belanda hubungan perburuhan ditandai dengan kekuasaan pihak penjajah yang terkenal dengan tiga macam peraturan yaitu :

1.    Tanam paksa

    Pada masa ini pemerintah mengharuskan rakyat yang mempunyai tanah untuk menanami 1/5 dari tanahnya dengan tanaman yang ditentukan oleh pemerintah, seperti kopi, teh, dan lain-lain. Sedang bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah harus bekerja selama 1/5 tahun tanpa upah pada kebun-kebun pemerintah. Pada masa ini buruh belum mendapatkan hak-haknya sama sekali.

2.    Kerja Rodi pada tahun 1807 – 1811

    Pada masa ini rakyat diharuskan melakukan kerja paksa tanpa mendapat upah. Kerja rodi ini dilakukan untuk berbagai keperluan antara lain yang terkenal dengan proyek kerja paksa untuk membangun jalan Raya Anyer sampai Penarukan (Banyuwangi) yang diprakarsai oleh Hendrik Willem Deandels (1807-1811).

    Selain kerja rodi pada tahun 1872 juga dikenal istilah Punale Sanksi. Punale sanksi merupakan pengenaan sanksi pidana atau denda kepada orang yang tidak melakukan pekerjaannya tanpa alasan yang layak. Berbeda dengan kerja rodi yang tidak mengenal perjanjian kerja dan upah, dalam punale sanksi sudah ada perjanjian kerja dan upah. Namun perjanjian kerja tersebut bukan ditanda tangani oleh pengusaha dan buruh, tetapi antara Gubernur dengan Kepala Desa untuk jangka waktu 5 tahun, tetapi setelah 5 (lima) tahun berlalu, pekerja masih dapat dipaksa untuk terus bekerja. Demikian juga mengenai jam kerja, upah dan hal lainnya, semuanya bisa diubah oleh pengusaha sesuka hatinya. Punale Sanksi baru bisa dicabut pada tahun 1941 dan sejak 1 Januari 1942 telah lenyap dari perkebunan-perkebunan di Indonesia.

3.    Pada Masa Kemerdekaan

a.    Masa Orde Lama

    Pada masa ini kondisi perburuhan mengalami perbaikan dengan keluarnya Peraturan-peraturan perburuhan seperti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian perburuhan. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan swasta dan lain-lain. .

b.    Masa Orde Baru

    Pada masa ini pemerintah mengeluarkan berbagai paket kebijakan untuk menarik investor luar negeri menanamkan modalnya di Indonesia dan berhasil menarik investor asing tersebut. Pada masa ini Pemerintah telah meratifikasi Deklarasi Hak Azasi Manusia dan beberapa Konvensi Perburuhan namun dalam prakteknya kedudukan buruh dianggap belum setara dengan pengusaha.

c.    Reformasi

    Pada tahun 1998 Pemerintahan Orde Baru tumbang dan digantikan oleh Orde Reformasi. Pada masa ini terjadi perubahan besar dalam gerakan buruh. Demonstrasi yang pada masa orba dilarang, pada masa ini sering digelar, ditambah dengan krisis ekonomi yang melanda negeri secara berkepanjangan, sehingga menyebabkan para investor memindahkan investasinya ke luar negeri.

    Pada masa ini telah disahkan beberapa undang-undang yaitu Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Dengan lahirnya Undang-undang baru ini diharapkan buruh akan memperoleh posisi yang setara dengan pengusaha dan diperoleh hak-haknya.


 

III.    PIHAK-PIHAK DALAM PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

A.    Pihak Pengusaha

    Yang dimaksud pengusaha disini adalah pengusaha dalam pengertian majikan, yaitu sebagai pihak penyelenggara hubungan kerja dengan buruh atau karyawan dengan mengadakan pekerjaan dan mempekerjakan buruh atau karyawan tersebut dengan imbalan kerja yang layak, sebagaimana yang telah diperjanjikan antara majikan dan karyawannya tersebut sejak awal hubungan kerja itu mereka adakan, yang biasanya berupa gaji /upah, fasilitas tertentu (misalnya kendaraan, perumahan, dan sebagainya) dan/atau tunjangan-tunjangan lainnya.

Sedangkan organisasi majikan pada dasarnya ialah suatu organisasi atau kelompok majikan yang dibentuk oleh para majikan sebagai suatu wadah kerjasama bagi mereka dalam memecahkan persoalan-persoalan usaha yang bersifat rutin, ekonomis dan teknis serta sekaligus juga tentunya mengenai ketenagakerjaan.

Dalam penyelesaian hubungan industrial organisasi majikan atau pengusaha ini tidak begitu berperan karena organisasi tersebut dibentuk dengan tujuan sekedar sebagai kerjasama saling membantu tetapi tidak bersifat dominan dalam menentukan atau menetapkan sesuatu yang berarti di dalam dunia hubungan industrial.


 

B.    Pihak Pekerja dan Serikat Pekerja

Pekerja atau buruh pada dasarnya ialah orang atau pihak yang bekerja pada majikan untuk mengerjakan atau melakukan sesuatu tugas tertentu dengan menerima imbalan tertentu pula sebagaimana yang telah diperjanjikan bersama majikan yang bersangkutan sejak awal hubungan kerja itu mereka adakan.

Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perburuhan, pengertian buruh/pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perburuhan, pengertian buruh adalah barangsiapa bekerja pada majikan dengan menerima upah.

Pengertian serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.

Mengapa buruh memerlukan untuk berserikat antara lain karena melalui serikat maka kepentingannya dapat terlindungi sebagaimana pendapat John A. Fossum sebagai berikut :

"However the survey also found that respondents saw unions as effective in protecting workers from unfair treatment and improving wages and job security."

Melalui serikat buruh inilah para buruh bisa merundingkan apa yang mereka inginkan dengan pengusaha dengan dilindungi oleh hukum sebagaimana dijelaskan oleh Mary Cornish dan Lynn Spink sebagai berikut :

"Having a union means you can bargain and sign a collective agreement with the employer, an agreement that both you and the employer have to stick to, by law."

Serikat buruh/pekerja akan berusaha memperjuangkan hak-hak mereka terhadap pengusaha melalui perundingan.

    Memang dlaam hal ini jumlah pekerja/buruh yang sedemikian besarnya maka adanya organisasi buruh akan sangat diperlukan dalam suatu perusahaan. Karena dengan adanya serikat pekerja ini maka apabila terjadi konflik atau perselisihan maka akan lebih mudah diselesaikan dan akan menguntungkan kedua belah pihak.

    Pemerintah telah menerbitkan undang-undang nomor 21 tahun 200o tentang serikat pekerja buruh dengan tujuan untuk memberikan keleluasaan bagi pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepentingan dan haknya.


 


 

IV.    PERSELISIHAN PERBURUHAN

Perselisihan perburuhan ialah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa sebagai pihak yang berselisih adalah antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Adapun jenis-jenis dari perselisihan tersebut adalah meliputi :

1.    Perselisihan hak

2.    Perselisihan kepentingan

3.    Perselisihan karena pemutusan hubungan kerja

4.    Perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan.


 

Ad. 1.    Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul akibat adanya perbedaan penafsiran/keinginan buruh dan pengusaha terhadap hal-hal yang telah diatur dalam peraturan perburuhan, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan hak sering juga disebut yang bersifat normatif, yaitu perselisihan terhadap hal-hal yang bersifat normatif, yaitu perselisihan terhadap hal-hal yang telah ada pengaturan atau dasar hukumnya. Hal ini bisa terjadi karena adanya perbedaan penafsiran dan perbedaan kepentingan. Perbedaan penafsiran dapat terjadi karena aturan yang ada tidak jelas atau tidak tegas mengatur suatu perbuatan. Sedangkan perbedaan kepentingan dapat timbul sebagai akibat perbedaan penafsiran yang berdasar pada perbedaan kepentingan yaitu kepentingan pekerja/serikat buruh dengan kepentingan pengusaha.

Ad.2.    Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul terhadap hal-hal yang belum diatur dalam perundang-undangan, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan kepentingan ini sering juga disebut perselisihan yang tidak normatif.

Ad.3.    Perselisihan karena pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul sebagai akibat pemutusan hubungan kerja. Masalah pemutusan hubungan kerja telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Pemutusan Hubungan Kerja. Pada umumnya perselihan PHK terjadi akibat pertentangan pendapat terhadap dua hal, yaitu sah atau tidaknya PHK dan atau besarnya jumlah pesangon. Apabila PHK dilakukan denganh alasan yang jelas dan kuat, maka beban pengusaha untuk membayar pesangon akan semakin rendah atau bahkan tidak ada. Sebaliknya jika PHK dilakukan secara sewenang-wenang, maka beban tersebut akan semakin besar karena Undang-undang memberi hak kepada pekerja/buruh untuk meminta pesangon yang tinggi.

Ad.4.    Perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan.

    Perselisihan ini dapat terjadi karena pendirian serikat buruh sudah dapat dilakukan apabila mempunyai 10 orang anggota. Hal ini berarti dalam satu 10 orang anggota perusahaan dapat terdapat lebih dari 1 serikat buruh yang tentu saja akan rawan menimbulkan konflik.


 

V.    PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Prinsip dasar penyelesaian perselisihan yang terjadi dalam hubungan industial di Indonesia adalah melalui jalan kekeluargaan atau musyawarah untuk mencapai mufakat. Namun demikian tidak semua permasalahan yang terjadi dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah, sehingga untuk itulah dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 disediakan beberapa alternatif untuk menyelesaikan perselisihan tersebut yaitu melaui jalur non litigasi dan litigasi.

A.    Sebelum diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial dapat ditempuh beberapa tahapan penyelesaian perselihan hubungan industrial yang ditetapkan dalam UU PPHI, sebagai berikut :

1.    Lembaga Bipartit

    Penyelesaian melalui bipartit merupakan upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang meliputi perselisihan hak, perselisihan kepentingan, PHK, dan antara serikat pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh yang dilakukan secara dua pihak, yaitu antara pihak pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh.

    Penyelesaian perselisihan secara bipartit ini wajib dilaksanakan sebelum menempuh upaya yang lebih tinggi. Pasal 136 ayat 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan : "Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh secara musyawarah untuk mufakat."

    Hasil perbandingan bipartit dituangkan dalam berita acara yang memuat hasil perundingan. Berita acara tersebut harus dilampirkan manakala perundingan tersebut gagal dan para pihak bermaksud mengajukan permohonan penyelesaian melalui lembaga selanjutnya.

    Apabila penyelesaian bipartit ini berhasil mencapai kesepakatan maka dibuat Perjanjian Bersama (PB) yang mengikat kedua belah pihak dan selanjutnya didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial setempat untuk memperoleh Akta Bukti Pendaftaran, yang akan digunakan sebagai dasar untuk mengajukan eksekusi jika ada pihak yang mengingkari kesepakatan.

    Namun jika upaya bipartit tersebut gagal, maka risalah kegagalan tersebut harus dibuat untuk diserahkan kepada mediator untuk ditindak lanjuti. Penyelesaian secara bipartit ini harus selesai dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak dimulainya perundingan.

2.    Lembaga mediasi

    Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenaga kerjaan yang bertugas untuk melakukan mediasi dan memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berperkara guna menyelesaikan perselisihannya.

    Jika perundingan melalui mediator berhasil mencapai kesepakatan, maka segera dibuat Perjanjian Bersama (PB) yang ditanda tangani kedua belah pihak dan disaksikan oleh mediator. Perjanjian Bersama (PB) tersebut selanjutnya didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran.

    Apabila perundingan tersebut tidak tercapai, maka mediator akan membuat anjuran tertulis kepada kedua belah pihak. Atas anjuran tersebut para pihak harus sudah memberi jawaban selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah anjuran diterima. Jika anjuran tersebut diterima oleh kedua belah pihak maka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari setelah para pihak menyatakan penerimaannya, mediator harus sudah membantu para pihak untuk membuat Perjanjian Bersama (PB) dan mendaftarkannya ke Pengadilan Hubungan Industrial, sedangkan apabila para pihak atau salah satu pihak menolak isi anjuran, maka perselisihan tersebut bisa digugat melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Dalam hal para pihak tidak memberi jawaban maka bisa dianggap telah menolak anjuran. Anjuran harus sudah dikeluarkan oleh mediator dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan atas perselisihan hubungan industrial tersebut.

3.    Lembaga Konsiliasi

    Konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi olehs eorang atau lebih konsiliator yang netral. Konsiliator yaitu seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan tersebut. Jadi berbeda dengan mediasi yang dapat menyelesaikan segala jenis perselisihan dan bersifat wajib setelah kegagalan upaya bipartit, maka konsiliasi hanya dapat menyelesaikan perselisihan di luar perselisihan hak, serta merupakan lembaga pilihan, yakni konsiliasi hanya dapat ditempuh apabila kedua belah pihak yang berselisih sepakat untuk mencari penyelesaian lembaga tersebut. Apabila para pihak tidak memilih upaya konsiliasi maupun arbitrase setelah upaya bipartit gagal, maka penyelesaian harus dilaksanakan melalui mediasi.

    Berbeda dengan mediator maka konsiliator bukan pejabat pemerintah melainkan bersifat adhock.

    Lembaga konsiliasi menyelesaikan perselisihan melalui musyawarah, namun apabila tidak tercapai konsiliator akan mengeluarkan anjuran, yang berisi pendapat konsiliator atas perselisihan tersebut. Pihak yang merasa dirugikan atas anjuran tersebut berhak menolak melaksanakan isi anjuran dan mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

    Apabila penyelesaian melalui konsiliasi berhasil mencapai mufakat, maka konsiliator membantu para pihak untuk membuat Perjanjian Bersama atau mendaftarkan ke Pengadilan Negeri setempat untuk mendapatkan alat bukti perjanjian bersama. Konsiliator harus sudah menyelesaikan/mengeluarkan anjuran atas perselisihan tersebut dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permintaan penyelesaian.

4.    Lembaga arbitrase

    Arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan di luar Pengadilan Hubungan Industrial, melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan perselisihan kepada arbiter yang mengikat para pihak dan bersifat final.

    Sama     dengan konsiliasi, lembaga arbitrase juga merupakan lembaga yang hanya dapat menyelesaikan suatu perselisihan hubungan industrial, apabila pihak-pihak yang bersengketa bersepakat untuk menyelesaikan perselisihan tersebut melalui arbitrase kesepakatan penyelesaian tersebut biasanya dilakukan dalam bentuk perjanjian secara tertulis. Kesepakatan tertulis tersebut sangat penting karena berkaitan dengan masalah yurisdiksi. Apabila dalam suatu perjanjian telah dipilih arbitrase sebagai forum penyelesaian maka pengadilan menjadi tidak memiliki yurisdiksi (kewenangan) untuk memeriksa serta mengadili perkara.

    Dalam proses persidangan, arbiter akan berusaha mendamaikan kedua belah pihak, sehingga perselisihan dapat selesai secara kekeluargaan. Apabila terjadi penyelesaian damai, maka arbiter akan membantu para pihak untuk membuat perjanjian bersama dan mendaftarkannya di Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial untuk mendapatkan Akte Bukti Perjanjian Bersama.

    Namun apabila tidak dapat tercapai kesepakatan maka arbiter akan mengeluarkan putusan yang bersifat final. Atas putusan ini tidak dapat diajukan ke Pengadilan karena putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat semua pihak dan mempunyai kekuatan tetap.

    Apabila ada pihak-pihak uyang merasa dirugikan atas putusan tersebut maka satu-satunya upaya hukum adalah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak dikeluarkannya Putusan Arbitrase.

    Putusan arbitrase didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di Pengadilan Negeri di wilayah arbiter yang menetapkan putusan.

    Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pengajuan permohonan pembatalan, Mahkamah Agung harus mengeluarkan putusan.

    Alasan-alasan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) menurut pasal 52 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 adalah :

a.    Surat atau dokumen yang diajukan pada saat pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui atau dinyatakan palsu.

b.    Setelah putusan diambil, diturunkan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan pihak lain.

c.    Putusan diambil berdasarkan tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan.

d.    Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial.

e.    Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase harus sudah diselesaikan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penanda tanganan surat perjanjian penunjukkan arbiter, dengan ketentuan dapat diperpanjang satu kali, sebanyak 14 (empat belas) hari kerja, dengan persetujuan kedua belah pihak.

B.    Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial.

1.    Susunan Pengadilan Hubungan Industrial

Pengadilan hubungan industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Pengadilan ini secara kelembagaan berada dalam lingkungan peradilan umum. Kompetensi absolut pengadilan ini bertugas dan berwenang memeriksa, memutus :

a.    Tingkat pertama mengenai perselisihan hak.

b.    Tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan.

c.    Tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja.

d.    Tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Pengadilan Hubungan Industrial bertempat di Pengadilan Negeri, namun tidak semua Pengadilan Negeri dapat menyidangkan hubungan industrial. Untuk saat ini telah dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial di Jakarta Pusat. Pengadilan Hubungan Industrial nantinya akan dibentuk di tiap provinsi.

Susunan hakim pada Pengadilan Hubungan Industrial terdiri dari :

a.    Hakim

b.    Hakim Ad. Hoc.

c.    Panitera muda

d.    Panitera Pengganti


 

Hakim merupakan Hakim Negeri yang berasal dari Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Hakim Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dan dilantik berdasarkan Keputusan Ketua MA. Sedangkan untuk Hakim Ad Hoc diangkat berdasarkan Keputusan Presiden atas usul Ketua MA, dengan masa kerja selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.

Untuk pertama kalinya pengangkatan Hakim Ad Hoc dilakukan paling sedikit 5 (lima) orang dari unsur serikat pekerja/buruh dan 5 (lima) orang dari unsur pengusaha.

2.    Proses Beracara di Pengadilan Hubungan Industrial sama seperti beracara di Pengadilan Negeri maka ada tahap-tahap yang harus dilakukan :

a.    Tahap pengajuan gugatan.

1)    Tahap pendaftaran perkara di Kepaniteraan

2)    Tahap pembentukan majelis

3)    Tahap penentuan hari sidang

4)    Tahap pemanggilan pihak-pihak

b.    Tahap persidangan

1)    Perdamaian oleh hakim

2)    Pembacaan surat gugat

3)    Acara jawab jinawan

4)    Pemeriksaan bukti baik surat-surat maupun saksi-saksi.

5)    Kesimpulan

6)    Putusan

Seluruh pedoman beracara di Pengadilan Hubungan Industrial ini mengikuti pedoman beracara Berperkara di Pengadilan Negeri sebagaimana diatur di dalam HIR, RV,

3.    Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses Peradilan Hubungan Industrial.

Gugatan oleh pekerja/buruh atas hubungan kerja hanya dapat diajukan dalam tenggang 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha. Pengajuan gugatan wajib melampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi.

    Dalam hal perselisihan dan/atau perselisihan kepentingan di ikuti dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja maka PHI wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya.

    Bahwa tidak sama dengan acara dalam gugatan pada umumnya, maka proses beracara dalam Pengadilan Hubungan Industrial ini terdiri dari dua macam yaitu pemeriksaan dengan acara biasa dan proses pemeriksaan dengan acara cepat yang dapat dimohon oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

    Putusan harus sudah dijatuhkan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama.

    Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap, sedangkan perselisihan mengenai pemutusan hubungan kerja dan perselisihan hak dapat dilakukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan dibacakan atau diberitahukan.


 

VI PENUTUP

    Dengan telah dibentuknya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ini diharapkan pihak-pihak yang sering mengalami benturan kepentingan yaitu antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha/gabungan pengusaha dapat menyelesaikan perselisihan dengan baik, sehingga tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.

    Dalam Undang-undang ini telah diatur dengan sistematis tahap-tahap dalam penyelesaian Hubungan Industrial tersebut, mulai dari :

a.    Lembaga Bipartit

b.    Lembaga Mediasi

c.    Lembaga Konsiliasi

d.    Pengadilan Hubungan Industrial

    Tahap-tahap tersebut harus dilakukan agar bilamana timbul perselisihan yang sifatnya sederhana dan penyelesaiannya mudah, maka dapat dilakukan secara musyawarah. Sedangkan untuk permasalahan yang bersifat kompleks setelah diusahakan penyelesaiannya melalui musyawarah namun tidak berhasil maka permasalahan tersebut dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Agar Pengadilan Hubungan Industrial dapat segera menyelesaikan kasus-kasus hubungan industrial dengan cepat dan adil, maka dalam proses beracara dibedakan dengan proses beracara di Pengadilan Negeri pada umumnya. Hal ini ditandai dengan dibentuknya Majelis Hakim yang terdiri dari Hakim Karier dan Hakim Ad Hoc yang masing-masing dipilih oleh kalangan pekerja/serikat pekerja dan pengusaha/gabungan pengusaha. Dengan demikian diharapkan Majelis Hakim yang mengadili perkara hubungan industrial betul-betul menguasai masalah yang menjadi sengketa sekaligus dapat mengakomodasikan kepentingan masing-masing pihak yang bersengketa.

    Agar penyelesaian perkara perselisihan hubungan industrial ini cepat selesai dan mempunyai kekuatan hukum tetap maka Undang-undang memberikan batas waktu tertentu yaitu 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak hari sidang pertama.

    Demikian juga agar putusan segera mempunyai kekuatan hukum tetap, maka Undang-undang membatasi hanya kepada putusan tentang perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan hak yang dapat diajukan upaya hukum, itupun langsung kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.

    Terakhir, semoga dengan telah lahirnya Undang-undang tentang Penyelesaian Hubungan Industrial ini maka tidak ada lagi perselisihan yang berlarut-larut antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha/gabungan pengusaha. Dengan demikian akan tercipta suatu suasana kerja yang kondusif yang pada gilirannya dapat menarik investor luar negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang berimbas pada kesejahteraan bangsa Indonesia.


 

DAFTAR PUSTAKA

Cornis, Mary and Lynn Spink. Organizing Unions. Second Story Press. Toronto, Ontario. 1994.


 

Damanti, Sehat. Hukum Acara Perburuhan. DSS Publishing. Jakarta. 2005.


 

Gultom, Sri Subiandini. Aspk Hukum Hubungan Industrial. PT. Hecca Mitra Utama, Jakarta. 2005.


 

Fosum, John. A. Labour Relations ; Development, Structure Process. Business Publications. Inc.


 

Khalian Abdul. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. PT. Citra Aditya Ba… Bandung. 2003


 

Sulaiman Abdullah. Hukum Perburuhan : Materi Perkuliahan Hukum Perburuhan pada Konsentrasi Hukum Ekonomi atau Hukum Bisnis Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Indonesia. Jakarta. 2005.

Widodo Hartono, Judiantoro. Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Rajawali Pers. 1989.


 

Perundang-undangan

-    UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja / Buruh.

-    UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

-    UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Sabtu, 05 Desember 2009

SISTEM HUKUM NASIONAL INDONESIA DALAM PENGARUH SISTEM HUKUM YANG ADA DI DUNIA

  1. PENDAHULUAN

Keberadaan hukum sebagaimana keberadaan masyarakat. Ada masyarakat maka ada hukum (ubi ius ui societes). Begitu juga dengan yang ada di indonesia. Pada dasarnya hukum Indonesia sudah ada sejak adanya masyarakat yang mendiami kepuluan nusantara ini. Setelah negara Indonesia merdeka dan berdiri sendiri, mulai terpikirkan perlunya suatu hukum nasional yang akan mengatur perjalanan bangsa Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara kita telah memberikan arahan yang mendasar bagaimana seharusnya hukum dalam pola pikir wawasan nusantara yang mengatakan bahwa seluruh kepulauan nusantara merupakan satu kesatuan hukum dalam arti hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional.

Penegakan hukum yang sekarang banyak mengalami hambatan bahkan masih setengah atau tebang pilih, sehingga menimbulkan suatu pertanyaan dibagian manakan yang terjadi kesalahan. Apakah hukumnya, apakah aparat penegak hukumnya atau memang masyarakatnya sendiri. Dalam mempertanyakan hukum ada 2 (dua) hal yang perlu dicermati yaitiu bagaimana proses pembuatannya dan bagaimana sistem hukum itu sendiri.

Berikut ini penulis akan mencoba menjelaskan bagaimana sebenarnya sistem hukum yang ada di indonesia dalam kaitanya dengan sistem hukum yang ada di dunia. Karena sistem hukum yang ada baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi sistem Indonesia.

  1. PENGERTIAN SISTEM HUKUM

Dalam suatu sistem terdapat ciri-ciri tertentu yaitu terdiri dari komponen-komponen yang satu sama lain berhubungan ketergantungan dan dalam keutuhan organisasi yang teratur serta terintegras. Peraturan-peraturan hukum itu tidak berdiri sendiri tetapi mempunyai hubungan satu sama lain, sebagai konsekuensi adanya keterkaitan antara aspek-aspek kehidupan dalam amsyarakat. Malahan keseluruhan peraturan hukum dalam setiap masyarakat merupakan suatu sistem hukum.

Bellefoid menyebut, bahwa sistem hukum sebagai suatu rangkaian kesatuan peraturan-peraturan hukum yang disusun secara tertib menurut asas-asasnya. Oleh Subekti sistem hukum diartikan sebagai susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian–bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dan suatu pemikiran, untuk mencapai suatu tujuan. Sudikno Mertukusumo menyatakan, sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur–unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja untuk mencapai tujuan tersebut.

Dapatlah disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan "sistem hukum" adalah suatu kesatuan peraturan–peraturan hukum, yang terdiri atas bagian–bagian (hukum) yang mempunyai kaitan (interaksi) satu sama lain, tersusun sedemikian rupa menurut asas–asasnya, yang berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.

Masing–masing bagian peraturan hukum tersebut, harus dilihat dalam kaitannya dengan bagian–bagian lain dengan keseluruhannya, seperti gambar mozaik. Suatu gambar yang dipotong–potong menjadi bagian yang kecil, untuk kemudian dihubungkan lagi sehingga nampak utuh kembali gambar semula. Masing–masing bagian tidak sendiri lepas hubungannya dengan orang lain, tetapi tidak mempunyai arti di luar kesatuannya.

Scholten mengatakan bahwa sistem hukum merupakan kesatuan di dalam sistem hukum tidak ada peraturan hukum yang bertentangan dengan peraturan–peraturan lain dari sistem itu.

Seluruh peraturan–peraturan hukum dalam suatu negara dapat dikatakan sebagai satu sistem hukum, seperti sistem hukum Indonesia. Dalam sistem hukum Indonesia terdapat berbagai macam bidang hukum yang masing–masing mempunyai sistem sendiri-sendiri, sehingga ada sistem hukum perdata, sistem hukum pidana, sistem hukum tata negara dan sebagainya. Kemudian dalam sistem hukum perdata (Barat) misalnya, terdapat lagi sistem hukum orang, sistem hukum benda, sistem hukum perikatan dan sistem hukum pembuktian.

Dengan demikian dalam suatu negara terdapat tingkatan–tingkatan sistem hukum. Keseluruhan peraturan hukum positif di Indonesia adalah merupakan sistem hukum. Hukum perdata , hukun pidana dan hukum tata negara adalah sistem–sistem hukum. Tetapi juga sekaligus sebagai sub–sub sistem nasional.

Sistem hukum merupakan sistem abstrak (konseptual) karena terdiri dari unsur – unsur yang tidak konkret, yang tidak menunjukkan kesatuan yang dapat dilihat. Unsur – unsur dalam sistem hukum mempunyai hubungan khusus dengan unsur – unsur lingkungannya : Selain itu juga dikatakan, bahwa sistem hukum merupakan sistem yang terbuka, karena peraturan–peraturan hukum dengan istilah–stilahnya yang bersifat umum, terbuka untuk penafsiran yang berbeda dan untuk penafsiran yang luas.

Namun hukum barulah dapat dikatakan sebagai sistem menurut Fuller jika memenuhi 8 (Delapan) asas yang dinamaknnya "principle of legality", yaitu :

  1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan – peraturan tidak boleh mengandung sekadar keputusan ad hoc.
  2. Peraturan–peraturan yang telah dibuat harus diumumkan.
  3. Peraturan–peraturan tidak boleh ada yang berlaku surut.
  4. Peraturan–peraturan harus disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti.
  5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan–peraturan yang bertentangan satu sama lain.
  6. Peraturan–peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
  7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah–ubah peraturan sehingga menyebabkan orang kehilangan orientasi.
  8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari–hari.

Selain itu menurut Kees Schuit, bahwa sistem hukum terdiri atas tiga unsur yang memiliki kemandirin tertentu [identitas dengan batas–batas yang relatif jelas] yang saling berkaitan, dan masing–masing dapat dijabarkan lebih lanjut. Unsur–unsur yang mewujudkan sistem hukum itu adalah :

  1. Insur idiil. Unsur ini terbentuk oleh sistem makna dari hukum, yang terdiri atas aturan–aturan, kaidah–kaidah, dan asas-asas. Unsur inilah yang oleh para yuridis disebut "sistem hukum". Bagi para sosiolog hukum, masih ada unsur lainnya ;
  2. Unsur operasional. Unsur ini terdiri atas keselurhan organisasi–organiasasi dan lembaga–lembaga, yang didirikan dalam suatu sistem hukum. Yang termasuk ke dalamnya adalah juga para pengemban jabatan [ambtsdrager], yang berfungsi dalam kerangka suatu organisasi atau lembaga ;
  3. Unsur aktual. Unsur ini adalah keseluruhan putusan–putusan dan perbuatan–perbuatan konkret yang berkaitan dengan sistem makna dari hukum, baik dari para pengemban jabatan maupun dari para warga masyarakat, yang di dalamnya terdapat sistem hukum itu.

Adapun secara umum suatu sistem hukum memiliki ciri – ciri umum yaitu (1) aspek irasional, yaitu suatu sistem hukum timbul sebagai produk kesadaran hukum ; dan (2) aspek rasional, yaitu sistem hukum terjadi dengan membentuk suatu keseluruhan yang saling berkaitan.

Suatu sistem hukum sifatnya konsisten. Peraturan–peraturan hukum dikehendaki tidak ada yang bertentangan satu sama lain. Jika terjadi juga pertentangan karena hal ini tidak mustahil terjadi karena adanya berbagai kepentingan dalam masyarakat, maka akan berlaku secara konsisten asas – asas hukum seperti "lex specialis derogat legi generali", "lex posteriori derogat legi priori","lex superior derogat legi inferior".

Pemikiran negara hukum di negara barat dimulai sejak Plato dengan konsepnya "bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada peraturan (hukum) yang baik yang disebutnya dengan istilah nomoi. Kemudian ide tentang negara hukum populer pada abad ke-17 sebagai akibat dari situasi politik di Eropa yang didominasi oleh absolutisme.

Konsep negara hukum tersebut selanjutnya berkembang dalam dua sistem hukum yaitu sistem Eropa Kontinental dengan istilah Rechtsstaat dan sistem Anglo-Saxon dengan istilah Rule of law.

Sistem hukum Eropa kontinental yang biasa disebut dengan "civil Law" berkembang di negara–negara Eropa daratan (Barat), pertama kali Perancis, kemudian diikuti oleh negara–negara barat lainnya seperti Belanda, Jerman, Belgia, Swiss, dan Italia selanjutnya berkembang ke Amerika Latin dan Asia (termasuk Indonesia pada masa penjajahan pemerintah Hindia Belanda dulu). Sedangkan sistem Anglo-Saxon dengan istilah Rule of Law berkembang dinegara–negara Anglo-Saxon, seperti USA dan negara–negara bagiannya.


 

  1. MACAM-MACAM SISTEM HUKUM

1. Sistem Hukum Eropa Kontinental

Prinsip utama yang menjadi dasar sistem hukum Eropa kontinental adalah, bahwa memperoleh kekuatan mengikat karena diwujudkan. Sistem hukum Eropa Kontinental Rechtsstaat dipelopori oleh Immanuel Kant dan Frederich Julius. Menurut Stahl konsep hukum ini ditandai oleh empat unsur pokok ; 1) Pengakuan dan perlindungan terhadap hak – hak asas manusia, 2) Negara didasarkan pada teori trias politika ; 3) Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang–undang (wetmatig bertuur) dan; 4) Ada peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).

Prinsip utama dari sistem hukum ini adalah hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan–peraturan yang berbentuk undang–undang dan tersusun secara sistematis di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu. Hal ini semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum. Dan kepastian hukum hanya dapat diwujudkan dengan peraturan-peraturan hukum yang tertulis. Hakim menurut sistem Eropa kontinental ini tidak leluasa untuk menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan yang mengikat masyarakat. Putusan hakim dalam suatu perkara hanyalah mengikat yang berperkara saja (doktrins Res Ajudicata).

Sejalan dengan pertumbuhan negara-negara nasional di Eropa, yang berorientasi pada unsur kedaulatan (sovereignty), termasuk untuk menetapkan hukum, maka yang menjadi sumber hukum di dalam sistem Eropa Kontinental meliputi : (1) undang-undang yang dibentuk oleh pemegang kekuasaan legislatif ; (2) peraturan-peratusan yang dibuat pegangan kekuasaan eksekutif berdasarkan wewenang yang telah ditetapkan oleh undang-undang; dan (3) kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan undang-undang.

Berdasarkans sumber-sumber hukum yang digunakan, maka sistem hukunm Eropa Kontinental dibagi dalam dua golongan yaitu penggolongan ke dalam bidang hukum publik dan penggolongan ke dalam biang hukum privat. Hukum publik mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur kekuasaan dan wewenang penguasa negara serta hubungan-hubungan antara masyarakat ni negara. Sedangkan hukum privat mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang hubungan antara individu-individu dalam memenuhi kebutuhan hidup demi hidupnya. Termasuk dalam hukum publik aalah hukum tatanegara, hukum administrasi negara, hukum pidana dan lain-lain. Dan termasuk hukum privat meliputi hukum sipil dan hukum dagang.

Namun demikian sejalan dengan perkembangan peradaban manusia sekarang, batas-batas yang jelas antara hukum publik dan hukum privat semakin sulit ditemukan, karena '

  1. Terjadinya proses sosialiasi di dalam hukum sebagai akibat dari makin banyaknya bidang-bidang kehidupan masyarakat, walaupun pada dasarnya memperlihatkan adanya unsure "kepentingan umum" yang perlu dilindungi dan dijamin, misalnya, bidang hukum perburuhan dan hukum agraria.
  2. Makin banyaknya ikut campur negara di dalam bidang kehidupan yang sebelumnya hanya menyangkut hubungan perorangan. Misalnya, bidang perdaganga, bidang perjanjian dan sebagainya.

Kodifikasi hukum menurut Sistem Hukum Eropa Kontinental merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mewujudkan kepastian hukum. Karena negara-negara yang menganut sistem hukum ini akan selalu berusaha menciptakn kodifikasi-kodifiksi hukum sebagai kebutuhan masyarakat.

Kodifikasi Hukum Eropa Kontinental bersumber pada kodifikasi Hukum yang berlaku di kekaisaran Romawi yaitu "Corpus Juries Civilize" pada pertengahan abad VI masehi dari Kaisar Justhinianus yang setelah revolusi Perancis [1789-1795] dijadikan sebagai "Code Civil" yang mulai berlaku pada 21 Maret 1804. Oleh Belanda Code Civil Perancis dijadikan sebagai KUHPer. [1838], begitupun dengan Code de Commerce Perancis [1807] dijadikan sebagai KUHD Belanda [1811-1838]. Berdasarkan asas konkordansi keduanya dijadikan sebagai BW dan WvK bagi negara-negara jajahan Belanda, termasuk di Indonesia [1848]. Berdasarkan aturan peralihan UUD 1945 BW (KUHPer) dan WvK (KUHD) masih berlaku di Indonesia hingga sekarang.

2. Sistem Hukum Anglo Saxon

Sistem ini dikenal pula dengan istilah "Anglo Amerika", mulai berkembang di Inggris pada abad XI yang disebut sebagai sistem "Common Law" dan "Un Written Law". Sistem "Anglo Amerika" melandasi hukum positif di negara-negara Amerika Utara, seperti Kanada dan negara-negara persemakmuran Inggris dan Australia serta USA.

Konsep negara hukum Anglo-Saxon Rule of Law dipelopori oleh A.V Dicey (Inggris). Menurut A.V Dicey, konsep Rule of Law ini menekankan pada tiga tolok ukur ; 1) supremasi hukum (supremacy of law), 2) persamaan dihadapan hukum (equality before the law) ; 3) konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan (the constitution based on individual rights).

Sumber hukumnya Sistem Hukum Anglo Saxon antara lain :

  1. Putusan-putusan pengadilan atau hakim (judicial decision), yaitu hakim tidak hanya berfungsi sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum, tetapi juga membentuk seluruh tata kehidupan dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru (yurisprudensi).
  2. Kebiasaan-kebiasaan dan peraturan-peraturan tertulis Undang-undang dan peraturan administrasi negara.

Dengan demikian sistem hukum Anglo Saxon lebih mengutamakan pada common Law, yaitu kebiasaan dan hukum adat dari masyarakat, sedangkan undang-undang hanya mengatur pokok-pokoknya saja dari kehidupan masyarakat, dengan adanya common law, kedudukan kebiasaan dalam masyarakat lebih berperan dan selalu menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang semakin maju.

Sumber-sumber dalam sistem Anglo Saxon [putusan hakim kebiasaan dan peraturan admininstrasi] tidak tersusun secara sistematik dalam hierarki tertentu seperti di dalam sistem Eropa Kontinental. Selain itu peranan hakim dalam sistem Anglo Saxon berbeda dengan peranan hakim pada sistem Eropa kontinental. Pada sistem Anglo Saxon, hakim berfungsi tidak hanya sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum saja, melainkan peranannya sangat besar yaitu membentuk seluruh tata kehidupan masyarakat. Hakim mempunyai wewenang yang sangat luas untuk menafsirkan peraturan hukum yang berlaku dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang akan menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain untuk memutuskan perkara yang sejenis.

Dalam sistem common law hakim di pengadilan menggunakann prinsip "pembuat hukum sendiri" dengan melihat kepada kasus-kasus dan fakta-fakta sebelumnya [case law atau judge made law]. Pada hakekatnya hakim berfungsi sebagai legislatif sehingga hukum lebih banyak bersumber pada putusan-putusan pengadilan yang melakukan kreasi hukum.

Lebih jauh dari itu dengan dianutnya ajaran"the doctrine of precedent atau stare decists" pada common law, maka dalam memutuskan suatu perkaram seorang hakim harus mendasarkan putusannya kepada prinsip hukum yang sudah ada di dalam putusan hakim lain dari perkara yang sejenis sebelumnya [preceden]. Tetapi dalam hal belum ada putusan hakim lain yang serupa, atau putusan pengadilan yang sudah ada tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, maka hakim dapat menetapkan putusan baru berdasarkan nilai-nilai keadilan, kebenaran dan akal sehat [common sense] dengan pertimbangan yang rasa penuh tanggungjawab.

Dalam perkembangannya, sistem hukum Anglo Saxon Amerika mengenal juga pembagian"Hukum Publik dan Hukum Privat". Pengertian yang diberikan kepada hukum publik hampir sama dengan pengertian yang diberikan oleh sistem hukum Eropa Kontinental. Sedangkan bagi hukum privat pengertiannya agak berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh sistem hukum Eropa Kontinental. Sistem hukum Eropa Kontinental lebih menekankan hukum privat sebagai kaidah-kaidah hukum perdata dan hukum dagang yang dicantumkan dalam kodifikasi kedua hukum itu. Tetapi pada sistem hukum Anglo Saxon, hukum privat lebih ditujukan kepada kaidah-kaidah hukum tentang hak milik [law of property], hukum tentang orang [law of person], hukum perjanjian[law of contract]m dan hukum tentang perbuatan melawan hukum [law of torts] yang tersebar di dalam peraturan tertulis putusan-putusan hakim dan hukum kebiasaan.

3. Sistem Hukum Adat

Sistem hukum adat terdapat dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Cina, India, Pakistan, Jepang dan sebagainya. Istilah hukum adat berasal dari Belanda yaitu "adatrecht" yang pertama kali dikemukakan Snock Hurgronje, yang kemudian dipopulerkan sebagai istilah teknis yuridis oleh van Vollenhoven.

Menurut C. Van Vollenhoven (1928), hukum adat adalah bahwa Hukum Indonesia dan kesusilaan masyarakat merupakan hukum adat dan adat yang tidak dapat dipisahkan serta hanya mungkin dibedakan dalam akibat-akibat hukumnya. Sementara menurut pendapat Soekanto yang mengatakan bahwa hukum adat hakekatnya merupakan komplesitas adat-adat yang tidak kitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan mempunyai sangsi (dari hukum) dan mempunyai akibat hukum.

Hukum adat (Adatrecht) adalah "dat samenstel van voor inlanders en vreemde oosterlingen geldende gedragregels, die eenerzijds sanctie hebben (daarom "adat"). Adatrecht itu ialah keseluruhan aturan tingkah laku yang berlaku bagi himpunan bumiputera dan orang timur asing yang mempunyai upaya pemaksa, lagi pula tidak dikodifikasikan.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa sistem hukum adat adalah sistem hukum yang tidak tertulis, yang tumbuh dan berkembang serta terpelihara karena sesuai dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Sebagaimana dengan sifat hukum. Maka walaupun tidak tertulis, tetap ditaati dan akan mendapatkan sanksi bagi siapa saja yang melanggarnya.

Karena hukum adat sifatnya tidak tertulis, maka hukum adat senantiasa dapat menyesuaikan dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Adapun yang berperan dalam melaksanakan sistem hukum adalah pemuka adat (datuk) sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat, untuk memelihara ketertiban dan ketentraman masyarakat.

Sistem hukum adat bersumber pada peraturan-peraturan yang tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Dan hukum adat itu mempunyai tipe tradisional dengan berpangkal pada kehendak nenek moyang, artinya untuk ketertiban hukumnya selalu diberikan penghormatan yang sangat besar bagi kehendak suci nenek moyang itu.

Berdasarkan sumber hukum dan tipe hukum adat, maka daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia sistem hukum adat terbagi atas empat kelompok, yaitu :

  1. Hukum Adat mengenai Tata Negara [tata susunan rakyat mengatur yang tentang susunan dari dan ketertiban dalam persekutuan-persekutuan hukum (rechtsgemenschappen) serta susunan dan lingkungan kerja alat-alat perlengkapan, jabatan-jabatan dan penjabatnya;
  2. Hukum adat tentang delik (hukum pidana), memuat peraturan-peraturan tentang pelbagai delik dan reaksi masyarakat terhadap pelanggaran hukum pidana itu.
  3. Hukum Adat tentang warga/hukum warga [perdata], terdiri dari :
    1. Hukum pertalian sanak [perkawinan, waris]
    2. Hukum tanah [hak ulayat tanah, transaksi-transaksi tanah ; dan
    3. Hukum perhutangan [hak-hak atasan, transaksi-transaksi tentang benda selain tanah dan jasa]
  4. Hukum Adat Acara, memuat peraturan-peraturan tata cara penyelenggaraan persidangan adat

Hukum adat yang merupakan pencerminan kehidupan masyarakat Indonesia. Tetapi karena masyarakat itu sendiri selalu berubah dengan tipe yang mudah berubah dan elastis, maka sejak penjajahan Belanda peraturan hukum adat banyak mengalami perubahan sebagai akibat politik hukum yang ditanamkan oleh pemerintah Belanda, keadaan berlangsung sampai Indonesia merdeka. Misalnya, perubahan secara formal terhadap penghapusan hukumadat mengenai delik [hukum pidana] dan diberlakukan peraturan-peraturan hukum pidana tertulis yang dikodifikasikan di samping perundangan tertulis lainnya bagi seluruh masyarakat Indonesia.

4. Sistem Hukum Islam

Sistem hukum Islam semula dianut oleh masyarakat Arab sebagai awal dari timbulnya dan penyebaran agama Islam. Kemudian mengikuti laju penyebaran agama Islam, sistem hukum Islam pun berkembang ke negara-negara lain di Asia [termasuk Indonesia], Afrika, Eropa dan Amerika baik secara individual atau kelompok. Sedangkan untuk beberapa negara di Afrika [Mesir dan lainnya] dan Asia [negara-negara Arab umumnya, Malaysia dan lainnya] perkembangannya sesuai dengan pembentukan negara itu yang berasaskan ajaran Islam.

Hukum Islam, menurut Ismail Muhammad syah, dkk., hakekatnya adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Rasul tentang tingkah laku manusia mulallaf diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.

Dari pengertian tersebut terkandung dua unsur yang terdapat dalam hukum Islam, yaitu :

  1. Berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul, yaitu seperangkat peraturan tersebut digali (bersumber) dari dan berdasarkan kepada wahyu Allah dan Sunnah Rasul atau yang biasa disebut dengan syari'at (syara' dan fiqh)
  2. Tentang tingkah laku mukallaf, yaitu bahwa hukum Islam tersebut mengatur tindakan lahir dari manusia yang telah dikenai hukum (umat Islam)

Sistem Hukum Islam bersumber kepada :

  1. Al Qur'an yaitu kitab Suci kaum muslimin yang turunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW melalui malaikat Jibril ;
  2. Sunnah Nabi, yaitu cara hidup (tingkah laku) dari Nabi Muhammad SWA atau cerita-cerita (hadits) mengenai Rasulullah SAW ;
  3. Ijma' yaitu kesepakatan para ulama besar tentang suatu hal dalam cara bekerja (berorganisasi) ;
  4. Qiyas, yaitu analogi dalam mencari sebanyak mungkin persamaan antara dua kejadian.

Selain sistem hukum di atas menurut Eric L Ricahard ada sistem hukum yang lain, yaitu : Socialist Law, Sub-Saharan Africa Law dan Far East Law. Socialist Law adalah suatu sistem hukum yang dipratikan di negara-negara sosialis. Sub-Saharan Africa Law adalah suatu sistem hukum yang dipratikan di negara Afrika yang berada di sebelah selatan gunung sahara. Far East Law yaitu sistem hukum timur jauh, adalah sistem hukum yang kompleks berupa perpaduan antara civil law, common law dan islamic law sebagai fundamental masyarakat.

  1. SISTEM HUKUM NASIONAL INDONESIA

Pada dasarnya Sistem hukum Indonesia dipengaruhi oleh 3 (tiga) pilar sistem hukum di dunia yaitu Sistem hukum Barat (Eropa Kontinental), sistem hukum adat dan sistem hukum adat.

Sistem hukum barat merupakan warisan penjajah kolonial Belanda yang mempunyai sifat individualistik, perjalanan hukum indonesia tidak terlepas dari sejarah bangsa indonesia sendiri yang mengalami penjajahan dari bangsa belanda hingga 350 tahun.selain itu juga pernah dijajah oleh bangsa-bangsa eropa lainnya seperti Inggris, Portugis meskipun dengan waktu relatif pendek dan juga dijajah oleh Jepang.

Dengan adanya penjajahan tersebut sangat berpengaruh terhadap sistem hukum indonesia, karena para penjajah menggunakan sistem hukumnya sendiri-sendiri untuk diterapkan di negara jajahannya. Dari bebarapa negara penjajah, bangsa Belanda yang paling mempengaruhi sistem hukum yang ada di Indonesia. Sehingga wajar apabila begitu banyak yang diadopsi kedalam peraturan bangsa Indonesia.

Dalam bidang hukum perdata, yaitu Burgerlijk Wetbook (BW) peninggalan penjajah belanda, sekarang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Sebelunmnya BW berlaku indonesia karena prinsip Concordantie, yaitu suatu prinsip penyesuaian didaerah hukum Indonesia. Asas atau Prinsip Concordantie terncantum dalam pasal 131 IS yang menyatakan bahwa bagi setiap orang Eropa yang ada di Hindia Belanda/Indonesia, diberlakukan hukum perdata yang berlaku di negeri Belanda, sedangkan pada saat itu Hukum yang berlaku di negeri belanda adalah BW. Dalam pasal 131 IS disebutkan bagi golongan eropa, hal ini terjadi karena pada saat itu di Indonesia terjadi penggolongan penduduk oleh penjajah Belanda menjadi 3 golongan, yaitu Golongan Eropa. Timur Asing dan Bumi Putra.

Pada masa pendudukan Jepang, BW tetap dipakai atau dengan kata lain BW masih diakui oleh pemerintah pendudukan jepang. Hal ini mengingat jepang hanya berkuasa di Indonesia selama tiga setengah tahun,mak untuk mengisi kekosongan hukum maka dikeluarkanlah Undnag-undang No 1 tahun 1942 dimana dalam pasal 3 nya dijelaskan mengenai ketentuan masih dipakainya peraturan yang ada asalkan tidak berte ntangan dengan aturan pemerintah bala tentara Jepang.

Dalam bidang hukum pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang kita kenal dengan KUHP awalnya merupakan peninggalan dari Belanda juga Di Belanda . kitan tersebut dikenal dengan istilah Wetboek van Strafrecht voor Eropeanen (WVS) (stb 1866/55). Pada awalnya WVS diberlakukan pada golongan eropa sejak tanggal 1 januari 1867. WVS juga berlaku untuk orang-orang bukan eropa (Timur Asing dan Pribumi) dengan diberlakuknya Wetboek van Strafrecht voor Inlander (stb 1872/85) yang mulai
pad tanggal 01 Januari 1973.

Wetboek van Strafrecht voor Inlander prinsipnya berlaku asas konkordansi dengan Wetboek van Strafrecht voor Eropeanen dimana perbedaanya hanya dalam hal ancaman pidananya. Untuk golongan eropa ancaman pidananya lebih ringan dibandingkan untuk golongan non eropa (pribumi dan Timur Asing) Baru pada tahun 1918WVS diberlakuakn kepada seluruh orang Hindia Belanda.

Setelah Indonesia merdeka, penggolongan penduduk tersebut tidak berlaku, yang ada hanya warga negara Indonesia dan warga negara asing. Saat awal kemerdekaan agar tidak terjadi kekosongan hukum yang berlaku di Indonesia maka diharapkan aturan yang pada saat itu masih berlaku diharapkan berlaku juga untuk bangsa Indonesia. dalamAturan Peralihan Undang_undang adasar 1945 disebutkan bawha seluruy peraturan yang ada hingga saat Indonesia merdeka masih tetap berlaku selama belum diadakan menurut Undang-Undang dasar ini. Pada saat itu BW dan WVS sebagai aturan yang masih ada dengan aturan peralihan UUD 1945 maka berlaku juga di Indonesia.

Sebagai penunjangnya dikeluarkan peraturan pemerintah nomor 2 tahun 1945 pada tanggal 10 Oktober 1945 yang menyatakan bahwa segala badan Negara dan peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945, sebelum diadakan yang baru mneurut undang-undang dasar masih tetap berlaku asal saja tidak bertentangan dengan UUD tersebut. Ironis sekali setelah Indonesia merdeka selama 61 tahun aturan tersebut belum diganti baik itu KUH Pidana maupun KUH Perdata masih berlaku. Mau tidak mau suka tidak suka aturan yang dibawa oleh pemerintah Belanda saAt penjajahan sangat mempengaruhi sisTem hukum Indonesia.

Prinsip utama dari sistem hukum eropa adalah hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan–peraturan yang berbentuk undang–undang dan tersusun secara sistematis di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu. Konsep sistem ini dipakai oleh Indonesia, yaitu yang mengatur tata cara dan bagaimana kehidupan berbangsa dan bernegara denahn dirumuskan dalam Undang-Undang secara tertulis. Lembaga pembentuk Undang-undangpun ada yaitu DPR bersama dengan pemerintah. Sebagai contoh penhaturan mengenai perdagangan, disusunlah dalam bentuk aturan mengenai UU Monopoli dan Persaingan Usaha, selain itu dibentuk pula Undang-undang tentang perlindungan konsumen. Jadi setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara dituangkan dalam suatu susunan perundang-undangan.

Keberadaan Hukum adat di Indonesia juga tidak lepas dari campur tangan Penjajah Belanda, meskipun dibeberapa daerah hukumadat tealh diberlakukan sebelum datangnya penjajah Belanda, seperti di daerah Aceh yang sudah mengenal hukuman mati bagi seorang istri Pezinah, hukman potong tangan bagi seorang pencuri. Antara hukum Adat dan hukum Islam mempunyai kaitan sangat erat. Menurut Snouck Hourgounje yang terkenal dengan teori reseptie bahwa hukum islam akan ditegakkan apabila hukum islam tersebut telah diterima oleh hukum adat.

Bagaimana pengaruh hukum islam dan hukum adat berpengaruh terhadap sistem hukum Indonesia. Kita lihat pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menganut aturan yang ada dalam hukum adat. Sebagai contoh masih diakuinya adanya Hak Ulayat dan hak-hak atas tanah yang lain yang bersumber pada hukum adapt. Bahkan telah keluar mengenai undang-undang bagi hasil tanah pertanian, yaitu yang menentukan bahwa untuk penggarap berhak 2/3 atas hasil panen sedangkan 1/3 untuk pemilik lahan. Aturan tersebut dirasa kurang adil, masyarakat menilai adil apabila pembagian hasil tanah garapan dibagi secara seimbang yaitu ½ untuk penggarap tanah pertanian dan ½ untuk pemilik lahan pertanian. Dan samapi sekarang dalam masyarakat yang diapaki adalah konsep dari hukum adat.

Undang-Undang di Indonesia juga sangat kental dipengaruhi oleh hukum islam. Bukti yang sangat nyata adalah mengenai pengaturan mengenai Undang-Undang Perkawinan. dalam Undang-Undang tersebut diakui perkawinan secara sah apabila dilakukan sesuai dengan agama dari kedua mempelai. Selain itu juga mengenai sistem pewarisan. Hukum Indonesia juga mengenal adanya 3 sistem pewarisan yaitu adanya sistem hukum waris barat, islam dan adat. Ketiga-tiganya adalah sah menurut hukum, terserah kepada masyarakat mau menggunakan yang mana.

Pada akhir ini konsep hukum islam secara nyata mempengaruhi hukum Indonesia yaitu dalam konsep ekonomi syariah. Dari konsep syariah maka muncul bank syariah, asuransi syariah, danareksa syariah, lembaga pembiayaan syariah dan lain-lain. Dan tentunya dengan munculnya lembaga baru tersebut perlu suatu pengaturan yang tidak mungkin bahwa pengaturan tersebut bersumber dari konsep syariah, yakni hukum islam.

Menurut penulis selain tiga sistem hukum tersebut diatas ada sistem hukum Commow law/angloxason berpengaruh terhadap sistem hukum Indonesia. Dalam sistem hukum common law hakim di pengadilan menggunakan prinsip "pembuat hukum sendiri" dengan melihat kepada kasus-kasus dan fakta-fakta sebelumnya [case law atau judge made law]. Pada hakekatnya hakim berfungsi sebagai legislatif sehingga hukum lebih banyak bersumber pada putusan-putusan pengadilan yang melakukan kreasi hukum. Dan hakim wajib mengikuti putusan hakim yang sebelumnya inilah cikal bakal lahirnya yurisprudensi.

Yurisprudensi dalam prektek peradilan dikonsepsikan sebagai suatu keputusan hakim yang berisikan suatu peraturan sendiri berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pasal 22 AB yang menjadi dasar keputusan hakim dilain kemudian hari untuk mengadili perkara yang serupa dan keputusan hakim tersebut lalu menjadi sumber hukum bagi pengadilan. Kasasi tidak membedakan antara putusan Hakim Agung, Hakim tingkat Banding atau Hakim tingkat Pertama, yang penting putusan Hakim tersebut adalah putusan yang mempunyai nilai pertimbangan hukum tersendiri yang belum diatur secara jelas dalam Undang-Undang atau penerapan hukum yang menyimpangi ketentuan hukum positif yang ada dengan pertimbangan sosiologis, filosofis dan psikologis yang membuat decak kagum hakim lain yang kemudian tertarik untuk mengikutinya dalam memutus perkara yang sama secara berulang-ulang dalam waktu yang lama.

Berbeda dengan Soebekti, yang menyatakan bahwa yuriprudensi adalah " putusan-putusan hakim atau pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan Kasasi, atau Putusan Mahkamah Agung sendiri sudah tetap (constant). Disamping itu putusan hakim baru dapat dikatakan sebagai yurisprudensi apabila kasus yang diputus oleh hakim tersebut belim diatur undang-undang. Kalau Yurisprudensi dikonsepsikan seperti maka unsur-unsur terbentuknya hukum yurisprudensi harus memenuhi unsur:

  1. Putusan Hakim adalah putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap;
  2. Putusan Hakim yang sudah memilki kekuatan hukum tetap tersebut, harus dibenarkan oleh Mahkamah Agung;
  3. Kasus hukum yang diputus oleh Hakim tersebut belum diatur dalam undang-undang;

Sistem Hukum Indonesia menurut Penulis tidak menganut sistem eropa kontinental secara ketat, dan juga tidak menganut sistem cammon law secara ketat. kedua sistem itu diberi tempat dan kesempatan yang sama dalam mengelola hukum di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kecendrungannya masyarakat akademisidan praktisi hukum di Indonesia dalam menganalisa proses penemuan hukum yurisprudensi, cendrung ke arah penggabungan (kumulasi) kedua sistem tersebut dengan skala prioritas mendahulukan hukum dalam pengertian peraturan perundang-undangan, baru kemudian hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai penyalarasnya sehingga terjadi link atau jalinan kerja sama yang saling mengisi dan memperkuat.

Sangat mungkin terjadi dalam suatu kasus tertentu, akan dijumpai pertentangan yang tajam antara hukum dalam pengertian perundang-undangan dengan hukum yurisprudensi yang sudah tetap. Jika didekati menggunakan kedua sistem tersebut, jawabannya jelas akan mempertahankan kebenarannya masing-masing. Sistem eropa kontinetal pasti akan mengatakan hukum perundang-undangan yang harus dimenangkan, sebaliknya cammon law sistem akan dengan lantang menyatakan hukum yang hidup dalam masyarakat yang harus dimenangkan.

Meminjam pendapat Moh.Mahfud MD, yang menyatakan bahwa "Undang-Undang merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai formalasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan", sehingga dapat dimungkinkan ada beberapa nilai hukum yang hidup dalam rasa keadilan masyarakat yang terabaikan, sehingga tidak masuk dalam formulasi rumusan Undang-undang. Atas dasar ini, jika terjadi sangketa antar undang-undang yang berhadapan dengan nilai hukum yang hidup dan rasa keadilan masyarakat (hukum yurisprudensi) maka hukum yurisprudensi harus didahulukan peneranpanya daripada undang-undang.dengan kata lain, dalam hukun kasus, hukum yurisprudensi harus dijadikan sebagai panglimanya.

  1. PENUTUP

Sistem Hukum Indonesia yang mengambil hukum-hukum pada penjajahan dengan asas konkordantie, ternyata tidak seluruhnya menggunakan sistem hukum penjajah secara murni yaitu sistem hukum kontinental. Penduduk Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku yang memiliki adat istiadat sendiri-sendiri. Tiap suku mempunyai hukum adat juga, dan hukum adat ini juga mempengaruhi sistem hukum yang ada di indonesia. Yang terakhir adalah sistem hukum islam yang juga menjadi dasar berlakunya hukum di Indonesia.

Selain ketiga sistem diatas ternyata sistem hukum Indonesia mulai di pengaruhi oleh sistem Common Law. Ini terbukti yurisprudensi yang sering dikenal dalam ranah sistem common law ternyata sekarang juga mulai dianut oleh sistem Indonesia, padahal selama ini Indonesia menggunakan sistem Kontinental. Dan yang terakhir adalah model Dissenting Opinion (perbedaan pendapat dalam putusan hakim) yang sebelumnya hanya dikenal dalam sistem common law ternyata konsep Dissenting Opinion sudah dianut dalam sistem hukum indonesia, bahkan telah dijadikan suatu aturan yaitu mengenai peraturan perundang-undangan tentang mahkamah agung.

Suatu negara ternyata tidak akan secara mutlak menggunakan satu sistem hukum saja, akan tetapi ada pengaruh sistem hukum yang lain yang digunakan untuk mengatur kehidupan berbangsanya. Karena tujuan pengambil alihan konsep dari sistem hukum yang lain adalah untuk suatu kemanfaat.

DAFTAR PUSTAKA

E.Y Kanter dan S..R Sianturi, Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta : Storia Grafika, 2002

H.M. Fauzan, Hakim Sebagai pembentuk "Hukum Yurisprudensi" di Indonesia, Majalah Hukum Varia Peradilan Edisi Maret 2006,

Kansil, C.S.T. Pengantar Tata Hukum Dan Ilmu Hukum Di Indonesia, Jakarta :Balai Pustaka, 1986,

Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pembelajaran Tata Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 1997, ,

Moh.Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : LP3ES, 1998,

Muchsin, Ikthisar Hukum Indonesia, Jakarta : Badan Penerbit IBLAM, 2005,

-----------, Ikhtisar limu Hukum, Jakarta : Badan Penerbit IBLAM, 2005,

Riduan Syahrani, Rangkuman Inti Sari Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999,

Soebekti, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Bandung : Alumni, 1974

Subekti dalam Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung : Alumni, 1986,

Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Yogyakarta : Liberty,

Titik Triwulan Tutik, Pengantar ilmu Hukum, Jakarta: Prestasi Pustaka,2006

. .

  1. Bellefoid dalam Titik Triwulan Tutik, Pengantar ilmu Hukum, Jakarta: Prestasi Pustaka,2006, Hal 88.
  2. Subekti dalam Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung : Alumni, 1986, hal 65
  3. Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Yogyakarta : Liberty, hal 100
  4. Fuller
    dalam Titik Triwulan Tutik, Pengantar ilmu Hukum, Jakarta: Prestasi Pustaka,2006, Hal 90
  5. Kees Schuit, dalam Titik Triwulan Tutik, Pengantar ilmu Hukum, Jakarta: Prestasi Pustaka,2006, Hal 91
  6. Titik Triwulan Tutik, Pengantar ilmu Hukum, Jakarta: Prestasi Pustaka,2006, Hal 93
  7. Titik Triwulan Tutik, Op Cit hal 69
  8. Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pembelajaran Tata Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 1997, hal 79
  9. Riduan Syahrani, Rangkuman Inti Sari Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999, hal 176
  10. Eric L Ricahard dalam Muchsin, Ikhtisar Hukum Indonesia, Jakarta : Badan Penerbit IBLAM, 2005, hal 25
  11. Ibid
  12. Muchsin, Ikthisar Hukum indonesia, Ikhtisar Hukum Indonesia, Jakarta : Badan Penerbit IBLAM, 2005, hal 25
  13. E.Y Kanter dan S..R Sianturi, Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta : Storia Grafika, 2002 hal 44
  14. Muchsin, Op Cit hal 30
  15. Kansil, C.S.T. Pengantar Tata Hukum Dan Ilmu Hukum Di Indonesia, Jakarta :Balai Pustaka, 1986, hal 49
  16. H.M. Fauzan, Hakim Sebagai pembentuk "Hukum Yurisprudensi" di Indonesia, Majalah Hukum Varia Peradilan Edisi Maret 2006, hal 38
  17. Soebekti, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Bandung : Alumni, 1974 Hal 117,
  18. ibid.
  19. Moh.Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : LP3ES, 1998, hal 7