Kamis, 26 November 2009

TIJAUAN "EUTHANASIA" DALAM HUKUM PIDANA POSITIF INDONESIA ILMU KEDOKTERAN, DAN HUBUNGANNYA DENGAN PIDANA MATI, SERTA HAK-HAK ASASI MANUSIA


 

  1. "Euthanasia" dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

    Dilihat dari segi perundang-undangan dewasa ini, belum ada pengaturan yang baru dan lengkap tentang euthanasia ini. Tetapi bagaimanapun juga, karena masalah euthanasia menyangkut soal keselamatan jiwa manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, guna pembahasan selanjutnya adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, khususnya pasal-pasal yang membicarakan masalah kejahatan yang menyangkut jiwa manusia. Yang paling mendekati dengan masalah tersebut adalah peraturan hukum yang terdapat dalam buku ke-2, Bab IX pasal 344 KUHP.

    Sebelumnya kalau kita memperhatikan pasal-pasal lain yang menyangkut jiwa manusia dalam KUHP ini, seperti pasal-pasal 388, 339, 340, 341, dan lain-lain, maka selain dapat membaca bunyi pasal-pasal itu sendiri, kitapun dapat mengetahui bagaimana sebenarnya pembentuk Undang-undang ini, pandangannya terhadap jiwa manusia itu. Secara singkat, dari sejarah pembentukan KUHP dapat diketahui, bahwa pembentukan undang-undang pada saat itu (jaman Hindia Belanda), juga menganggap bahwa jiwa manusia sebagai miliknya yang paling berharga, dibandingkan dengan miliknya yang paling berharga, dibandingkan dengan miliknya manusia lainnya. Oleh sebab itu, setiap perbuatan apapun motif dan coraknya sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan jiwa manusia, hal ini dianggap sebagai sesuatu kejahatan yang besar oleh Negara. Jadi masalah keselamatan jiwa dari pada warga Negara, selalu dilindungi Negara. Dalam hal ini tidak boleh dilupakan adanya dua kepentingan yakni kepentingan masyarakat dan kepentingan individu yang dituntut.

    "Kepentingan masyarakat, bahwa seorang yang telah melanggar suatu peraturan pidana, harus mendapatkan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya, guna keamanan masyarakat, dan kepentingan orang yang dituntut, bahwa ia harus diperlakukan sedemikian rupa sehingga jangan sampai orang yang tidak berdosa mandapat hukuman, atau kalau memang ia berdosa, jangan sampai ia mendapat hukuman yang terlalu berat, tidak seimbang dengan kesalahannya".

    Pandangan dari pembentuk Undang-Undang Hinda Belanda itu rupanya masih tetap dianut oleh Pemerintah sekarang masa Orda Baru. Ini terbukti bahwa dalam KUHP sendiri, perihal keselamatan dan keamanan jiwa manusia masih dijamin dengan tanpa perubahan sedikitpun. Memang merupakan kenyataan sampai sekarang, bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan idiologi, tentang keselamatan dan keamanan jiwa manusia Indonesia dijamin oleh Undang-undang. Ini juga merupakan pencerminan dari pada prinsip equality before the law yang tentunya harus juga diterapkan terhadap keamanan dan keselamatan jiwa manusia.

    Pasal 344 KUHP

    Di dalam pasal 344 KUHP, disebutkan bahwa :

    "Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun."2

    Dari bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak diperbolehkan melakukan pembunuhan terhadap orang lain, walaupun pembunuhan itu dilakukan dengan alasan atas permintaan si korban sendiri. Sulit rasanya membayangkan seseorang yang sampai hati "membunuh" atau dengan perkataan lain "merampas nyawa" orang lain apalagi yang dikenalnya atau yang perlu ditolongkan, atas permintaan yang bersangkutan yang tengah menderita sakit parah yang tak tersembuhkan misalnya. Pasti makin lebih sulit lagi, kalau ini dikaitkan lebih lanjut dengan masalah moral dan kemanusiaan. Namun dalam masa-masa mendatang, karena sesuatu hal tidak mustahil permasalahan merampas nyawa orang lain yang sangat dikasihani atau yang perlu untuk ditolong atau membiarkan nyawanya dirampas maut atas permintaan yang bersangkutan, kiranya sulit untuk dihindari.

    Dalam pasal di atas, kalimat "Permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati" haruslah mendapatkan perhatian, karena unsur inilah yang akan menentukan apakah orang yang melakukannya dapat dipidana berdasarkan pasal 344 KUHP atau tidak. Agar supaya unsur ini tidak dipersalahgunakannya maka dalam menentukan benar tidaknya seorang melakukan pembunuhan karena kasihan ini, unsur permintaan yang tegas
    (unitdrukkelijk), dan unsur sungguh (errstig), harus dapat dibuktikan baik dengan adanya saksi ataupun oleh alat-alat bukti yang lainnya, sebagaimana disebutkan dalam pasal 295 HIR sebagai berikut :

    Sebagai upaya bukti menurut undang-undang, hanya diakui :

    1. Kesaksian-kesaksian,
    2. Surat-surat,
    3. Pengakuan,
    4. Isyarat-isyarat.3

    Jadi apabila kita perhatikan pasal 344 KUHP tersebut di atas, agar seseorang dapat dikatakan telah memenuhi pasal itu, maka public prosecutor (Penuntut Umum/Jaksa) harus dapat membuktikan adanya unsur "permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati."

    Dengan kemajuan teknik yang pesat, khususnya dalam dunia kedokteran, hal "merampas nyawa" atau "membiarkan orang nyawanya dirampas maut", baik atas permintaan sendiri karena suatu penyakit yang sangat mustahil dapat disembuhkan maupun atas dasar perikemanusiaan karena tidak tahan melihat yang bersangkutan menderita, pasti menimbulkan berbagai komplikasi, antara lain yang menyangkut bukan saja masalah etika kedokteran, tetapi terlebih-lebih menyakut hukum pidana keliling". Dalam hal ini Bruce Bodiga dalam tulisannya "Euthanasia and the right to die, moral ethical and legal perspectives" (II T/Chicago, Kent Law Review, Vol. 51, Summer 1974, Number 1), mengungkapkan bahwa masalah euthanasia bukan saja masalah semantik, tetapi juga masalah subtansi.4

    Berkaitan dengan masalah euthanasia ini, maka Dr. J.E. Sahetapy, S.H., di dalam tulisannya pada Majalah Badan Pembinaan Hukum Nasional, membedakan euthanasia ini ke dalam tiga jenis, yaitu :

    1. Action to permit death to occur.
    2. Failure to take action to prevent death.
    3. Positive action to cause death.5

    Dari ketiga perbedaan euthanasia tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa pada jenis euthanasia yang pertama, kematian dapat terjadi karena pasien dengan sungguh-sungguh dan secara cepat menginginkan untuk mati. Dalam hal ini pasien sadar dan tahu bahwa penyakit yang dideritanya itu tidak akan dapat disembuhkan walaupun diadakan pengobatan dan perawatan secara baik. Oleh sebab itu pasien tersebut kemudian meminta kepada dokter agar dokter tidak usah memberikan pengobatan kepadanya guna penyembuhan terhadap penyakit yang dideritanya itu. Di samping itu pasien memohon untuk tidak diadakan perawatan di Rumah Sakit lagi, namun supaya dibiarkan saja di rumah pasien sendiri. Pasien tersebut akan merasa bahagia, bahwa ia akan dapat dengan segera mati dengan tenang di samping keluarganya. Dalam hal ini memberikan izin segala permohonan si pasien itu. Jadi kematian si pasien itu terjadi seolah-olah merupakan kerja sama antara si pasien dan dokter yang semula merawatnya. Jenis euthanasia inilah yang biasa disebut sebagai euthanasia dalam arti yang pasif (permission).

    Berbeda dengan jenis euthanasia yang pertama, maka pada jenis euthanasia yang kedua, kematian terjadi karena kelalaian atau kegagalan dari seorang dokter dalam mengambil suatu tindakan untuk mencegah adanya kematian. Hal ini terjadi bilamana dokter akan mengambil suatu tindakan guna mencegah kematian, akan tetapi ia tidak mengerjakan sesuatu apa-apa, karena itu tahu bahwa pengobata yang akan diberikan kepada pasien itu adalah sia-sia belaka. Jika ia akan memberikan pengobatan, maka disamping sebagai suatu tindakan yang tidak berarti, sehingga sudah tidak ada lagi untuk penyembuhan secara normal. Akhirnya pasien dibiarkan begitu saja, sampai ajalnya tiba dengan sendirinya. Pada dasarnya euthanasia jenis yang kedua ini adalah sama dengan jenis euthanasia jenis yang pertama. Letak perbedaannya adalah pada tindakan membiarkan pasien mati dengan sendirinya tanpa mengadakan pencegahan. Jika pada jenis yang pertama, tindakan membiarkan ini timbul karena adanya persetujuan kedua belah pihak, yaitu persetujuan antara pasien dan dokter yang merawatnya, sedangkan pada jenis yang kedua, maka tindakan itu timbul hanya dating dari salah satu pihak saja, yaitu dari dokter yang merawatnya.

    Euthanasia jenis yang ketiga, merupakan tindakan yang positif dari dokter untuk mempercepat terjadinya kematian. Jadi berbeda dnegan jenis yang pertama di atas, yang bersifat pasif, maka pada jenis yang ketiga ini bersifat aktif (causation). Dari
    tindakan yang aktif ini, seorang pasien akan segera mati dengan tenang, misalnya dengan memberikan injeksi dengan obat yang menimbulkan kematian, obat penghilang rasa kesadaran dalam dosis yang tinggi, dan lain-lain.

    Antara euthanasia jenis yang pertama dan yang ketiga ini, sama-sama didasarkan atas permintaan/desakan kepada dokter dari si pasien ataupun dari keluarganya. Hanya saja pada jenis yang pertama dokter bersifat pasif, sedang pada jenis yang ketiga dokter lebih bersifat aktif dalam mengambil tindakan untuk mempercepat proses terjadinya kematian.

    Antara euthanasia jenis yang pertama dan yang ketiga ini, sama-sama didasarkan atas permintaan/ desakan kepada dokter dari si pasien ataupun dari keluarganya. Hanya saja pada jenis yang pertama dokter lebih bersifat aktif dalam mengambil tindakan untuk mempercepat proses terjadinya kematian.

    Apabila dikaitkan dengan ketiga jenis euthanasia tersebut di atas, maka rumusan yang terdapat di dalam pasal 344 KUHP, adalah sesuai dengan jenis euthanasia yang ketiga, yaitu euthanasia yang bersifat aktif. Namun masalahnya sekarang adalah apakah pasal 344 KUHP itu dapat diterapkan atau dapat dipakai sebagai dasar penuntutan oleh Jaksa ? Mengapa tidak!, kalau tidak, pasti pasal 344 KUHP itu tidak diciptakan. Tetapi ketika pasal tersebut diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dahulu, dunia ilmu kedokteran masih belum semaju seperti sekarang ini. Bahkan dalam pasal tersebut dinyatakan secara jelas : "Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan sendiri", ditambah pula dengan kata-kata "yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati" (unitdrukkelijk en ernsting verlangen). Bahwa perumusan ini sudah pasti menimbulkan suatu kesulitan dalam proses pembuktian, karena dapat dibayangkan, bahwa orang yang menyatakan dengan kesungguhan hati itu sudah pulang kea lam baka. Oleh sebab itu, pernyataan dengan kesungguhan hati ini tidak boleh diucapkan secara lisan, sebaiknya dalam bentuk yang tertulis dan ditandatangani oleh saksi-saksi, sehingga pada proses pembuktiannya di Pengadilan nanti, surat pernyataan ini dapat dipakai sebagai alat bukti seperti tersebut dalam pasal 295 HIR.

    Timbul masalah lagi, bagaimana jika yang bersangkutan tidak mampu lagi berkomunikasi dalam bentuk dan dengan cara apapun, sehingga tidak dapat dinyatakan dengan kesungguhan hati? Karena kita tahu bahwa dalam masalah euthanasia ini biasanya pasien dalam keadaan mati tidak, hidup itupun tidak (in a persistent vegetative state). Sebagai contoh yang sangat popular adalah yang terjadi di Amerika Serikat, yaitu kasus Karen Ann Quinlan, yang telah berada dalam suatu "persis tent vegetative state". Mengenai kasus ini akan dibahas pada bab yang berikutnya. Dalam hal yang demikian ini apakah seorang dokter dapat dituntut berdasarkan pasal 344 KUHP? Kalau dilihat dari perumusan pasal itu, baik dalam kontes penafsiran yang dikenal dengan dunia ilmu hukum, maupun bentuk penafsiran baru, menurut hemat kami pasal 344 KUHP ini sulit untuk dapat diterapkan. Apabila akan diterapkan pasal 344 KUHP merasa kesulitan dapatkah Penuntut Umum (Jaksa) menuduh seorang dokter berdasarkan pasal 340 KUHP yakni pembunuhan berencana yang menyebutkan bahwa :

    "Barangsiapa saja dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 (dua puluh) tahun"6

    Ataukah dapat menuntutnya pula berdasarkan pasal 338 KUHP, yakni pembunuhan biasa (dootslag), yang menyatakan sebagai berikut :

    "Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.7

    Apabila kita perhatikan lebih lanjut, dari ketiga pasal tersebut diatas, yaitu pasal 338, 340 dan 344 KUHP, ketiga-tiganya adalah mengandung makna larangan untuk membunuh. Selanjutnya pasal 338 KUHP merupakan aturan umum dari pada perampasan nyawa orang lain. Pasal 340 KUHP aturan khususnya, karena dengan dimasukkannya unsur "dengan rencana lebih dulu". Oleh sebab itu, pasal 340 KUHP ini biasa dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana. Begitu pula jika diperhatikan lebih lanjut, bahwa pasal 344 KUHP pun merupakan aturan khusus daripada pasal 338 KUHP. Hal ini, karena disamping pasal 344 KUHP tersebut mengandung makna perampasan nyawa atau pembunuhan sebagai diatur dalam pasal 338 KUHP, pada pasal 344 KUHP ditambahkan pula unsur "atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati". Jadi masalah euthanasia ini dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 dan pasal 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, yang merupakan sistem pemberian pidana juga terjadi suatu perbuatan pidana yang masuk dalam beberapa peraturan hukum. Concursus idealis ini diatur dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa :

    1. Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang menguat ancaman pidana pokok yang paling berat.
    2. Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya khusus itulah yang dikenakan.8

    Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas Lex specialis de rogat legi generali, yaitu bahwa peraturan-peraturan yang khusus akan mendesak atau mengalahkan peraturan-peraturan yang sifanya umum. Yang dimaksudkan sebagai peraturan khusus di sini adalah :

    "Peraturan pidana yang mempunyai atau memuat unsur-unsur yang termuat dalam peraturan pidana yang umum, akan tetapi juga memuat peraturan-peraturan pidana yang tak termuat dalam peraturan pidana umum. 9



    Sehubungan dengan adanya concursus idealis ini, maka Hazewinkel Suringa, yang mengatakan sebagai berikut :

    "Ada concursus idealis, apabila pernyataan yang sudah memenuhi suatu rumusan delik, mau tidak mau (noodzelijk – coipso) juga masuk dalam peraturan pidana lain, baik karena banyaknya peraturan-peraturan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang, maupun karena diaktifkannya aturan-aturan lain berhubungan dengan cara dan tempat perbuatan itu dilakukan, orang yang melakukan dan obyek terhadap apa perbuatan itu dilakukan.10

    Dengan adanya hal-hal seperti tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah euthanasia yang menyangkut dua aturan hukum, yaitu pasal 338 dan 344 KUHP, maka yang dapat diterapkan adalah pasal 344 KUHP. Apabila tidak terdapat asas Lex specialis derogate legi generali yang disebutkan dalam pasal 63 (2) KUHP itu, maka aturan pemindahan yang dipakai adalah pasal 338 KUHP. Hal ini desebabkan karena ancaman pidana penjara pada pasal 338 (yaitu 15 tahun), lebih berat daripada ancaman pidana yang terdapat pada pasal 34 KUHP (yang hanya 12 tahun). Hal ini dapat dimengerti karena dalam concursus idealis akan diterapkan system absorbsi, sebagaimana disebutkan pada pasal 63 (1) KUHP, yang memilih ancaman pidananya yang terberat. Oleh sebab itu, di dalam KUHP kita, hanya ada satu pasal saja yang mengatur tentang masalah euthanasia, yaitu hanya pasal 344 KUHP.

    Berlainan keadaannya di Inggris, dimana tidak ada ketentuan yang tertulis (statutory definition) tentang pembunuhan berencana (murder). Di Inggris hanya ada pembedaan antara lawful homicide (pembunuhan yang sah) dan unlawful homicide (pembunuhan yang tidak sah). Di samping itu dibedakan pula secara tajam antara actus reus (perbuatan pidana) dan mens rea (pertanggung-jawaban pidana), dengan mengembangkan jurisprudensi yang ada di sana. Oleh sebab itulah, tidak ada suatu ketentuan tertulis secara khusus yang menyangkut masalah euthanasia dapat dikonstruir apabila diajukan ke depan pengadilan. Hal ini sepintas kilas diungkapkan oleh Kadish dan Paulsen dalam textbook Criminal Law an its Processes, di mana tidak dibahas masalah euthanasia secara khusus, kecuali mensitir kepada dua jurisprudensi : People V Roberts tahun 1920, dan Regina V Fretwell tahun 1962.11

    Dari apa yang telah diuraikan di atas, dapatlah diambil kesimpulannya, bahwa euthanasia di Indonesia ini tetap dilarang. Larangan ini terdapat dalam pasal 344 KUHP, yang sampai sekarang masih berlaku. Akan tetapi perumusan dalam pasal 344 KUHP yang sekarang ini, dapat menimbulkan kesuliran bagi jaksa untuk menerapkannya atau mengadakan penuntutan berdasarkan ketentuan tersebut. Oleh karena itulah, maka sebaiknya bunyi pasal 344 KUHP tersebut dapatlah kiranya untuk dirumuskan kembali, berdasarkan atas kenyataan-kenyataan yang terjadi sekarang, yang telah disesuaikan dengan perkembangan di bidang medis. Rumusan baru ini diharapkan dapat memungkinkan atau memudahkan untuk mengadan penuntutan terhadap kasus yang bersangkutan dengan kasus euthanasia.


     

  2. Euthanasia dalam Ilmu Kedokteran

    Tugas profesional dokter begitu mulia dalam pengabdiannya kepada sesama manusia dan tanggung jawab dokter makin tambah berat akibat kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh ilmu kedokteran. Dengan demikian, maka setiap dokter perlu menghayati etik kedokteran, sehingga kemulyaan profesi dokter tersebut tetap terjaga dengan baik. Para dokter, umumnya semua pejabat dalam bidang kesehatan, harus memenuhi segala syarat keahlian dan pengertian tentang susila jabatan. Keahlian di bidang ilmu dan teknik baru dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya. Kalau dalam prakteknya disertai oleh norma-norma etik dan moral. Hal ini diinsyafi oleh para dokter di seluruh dunia, dan hamper tiap-tiap Negara telah mempunyai Kode Etik Kedokterannya sendiri-sendiri. Pada umumnya kode etik tersebut didasarkan pada Sumpah Hipocrates, yang dirumuskan kembali dalam pernyataan himpunan Dokter se-Dunia di London bulan Oktober 1949 dan diperbaiki oleh siding ke -22 Himpunan tersebut di Sedney bulan Agustus 1968.

    Sejak permulaan sejarah kedokteran, seluruh umat manusia mengakui serta mengetahui akan adanya beberapa sifat fundamental yang melekat secara mutlak pada diri seseorang dokter yang baik dan bijaksana, yaitu kemurnian niat, kesungguhan dalam bekerja, kerendahan hati serta integritas ilmiah dan sosial yang tidak diragukan. Oleh sebab itulah, para dokter di seluruh dunia bermaksud mendasarkan tradisi dan disiplin kedokteran tersebut dalam suatu etik professional yang sepanjang masa mengutamakan penderita yang minta berobat serta keselamatan dan kepentingan penderita tersebut. Sejak permulaan sejarah kedokteran pula para dokter berkeyakinan bahwa suatu etik kedokteran sudah sewajarnya dilandaskan atas asas-asas etik yang mengatur hubungan antara manusia pada umumnya. Disamping itu harus memiliki akar-akarnya dalam filsafat masyarakat yang diterima dan dikembangkan terus dalam masyarakat itu.

    Secara universal, kewajiban dokter tetsebut telah tercantum dalam Declaration of Genewa yang merupakan hasil musyawarah Ikatan Dokter se-Dunia di Genewa pada bulan September 1948. Di dalam deklarasi tersebut antara lain dinyatakan sebagai berikut :

    "I will maintain the utmost for human life from the time of conception, even under threat, I will not use my medical knowledge contrary to the laws of humanity."12

    Khusus untuk di Indonesia, pernyataan ini semacam secara tegas telah dicantumkan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang mulai berlaku sejak tanggal 29 Oktober 1969, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI. tentang : Pernyataan berlakukan Kode Etik Kedokteran Indonesia, tertanggal 23 Oktober 1969. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini dibuat berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI. tanggal 30 Agustus 1969 No. 55/WSKN/1969.

    Dalam Bab II pasal 9 dari Kode Etik Kedokteran Indonesia tersebut, dinyatakan bahwa :

    "Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani."13

    Dengan demikian, berarti di Negara mana pun di dunia ini seorang dokter mempunyai kewajiban untuk "menghormati setiap hidup insani mulai saat terjadinya pembuahan." Dalam hal ini berarti pula bahwa bagaimanapun gawatnya sakit seorang pasien, setiap dokter tetap melindungi dan mempertahankan hidup pasien tersebut. Dalam keadaan demikian mungkin pasien itu sebenarnya sudah tidak dapat disembuhkan lagi, atau sudah dalam keadaan sekarat berbulan-bulan lamanya. Akan tetapi dalam hubungan ini, dokter tidak boleh mepelaskan diri dari kewajiban untuk selalu menlindungi hidup manusia, sebagaimana yang diucapkan dalam sumpahnya. Semua perbuatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien dengan tujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaannya. Dengan sendirinya ia harus memberi pertolongan guna mempertahankan dan memelihara kehidupan manusia. Walaupun kadang-kadang ia terpaksa melakukan operasi yang sangat membahayakan, tetapi tindakan ini diambil setelah dipertimbangkan secara mendalam, bahwa tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan jiwa, supaya si pasien dapat terhindar dari ancaman maut. Sekalipun dalam operasi tersebut mengandung banyak resiko. Oleh sebab itulah, sebelum operasil dimulai, perlu adanya pernyataan persetujuan secara tertulis dari pasien dan keluarganya.

    Karena naluri terkuat daripada manusia adalah mempertahankan hidupnya, dan ini juga termasuk salah satu tugas seorang dokter, maka menurut etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan :

    1. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus),
    2. Mengakhiri hidup seseorang pasien, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).14


     

    ad.1. Abortus Provocatus :

Tidak hanya dalam dunia kedokteran, ternyata masalah abortus provocatus ini pun dalam hukum pidana kita juga dilarang. Sebagai contoh dapat kita lihat dalam pasal 346 KUHP, yang menyatakan sebagai berikut :

"Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.15

Disamping pasal 346 KUHP di atas, masih banyak pasal-pasal lain yang menyatakan bahwa abortus provocatus ini merupakan tindak pidana, misalnya pasal-pasal 347, 348 dan pasal 349 KUHP. Walaupun abortus provocatus ini merupakan perbuatan yang terlarang, namun hal ini masih dapat diterobos oleh seorang dokter, dengan pertimbangan untuk pengobatan, dan apabila perbuatan itu hanya merupakan satu-satunya jalan untuk menolong jiwa si ibu dari bahaya maut. Keputusan untuk melakukan abortus provocatus ini harus diambil sekurang-kurangnya oleh dua dokter, dengan persetujuan tertulis daripada perempuan yang hamil dan suaminya, atau keluarganya yang terdekat. Abortus jenis inilah yang disebut sebagai : abortus provocatus therapeuticus."16


 

ad.2. Euthanasia

Karena penderitaan yang tidak tertahankan lagi, bukan mustahil pesien yang penyakitnya sudah tidak mungkin disembuhkan itu, minta agar hidupnya diakhiri saja. Sampai sebagian jauh, tidak semua orang setuju akan prinsip euthanasia. Para dokter pun demikia halnya. Pada umumnya kelompok yang menentang, mengemukakan alasan yang bertitik tolak dari segi religius. Pada pokoknya kelompok ini menyatakan, segala sesuatu yang dialami oleh manusia memang dijadikan oleh Tuhan dan harus dipikul oleh manusia. karena hal itu mengandung makna dan tujuan tertentu. Dengan demikian berarti penderitaan seseorang dalam sakit yang tengah diteritanya, walau bagaimanapun keadaannya, memang sudah menjadi kehendak Tuhan. Oleh sebab itu, mengakhiri hidup seseorang yang sedang menerima cobaan Tuhan tentunya tidak dibebenarkan Argumentasi. Demikian tadi rupa-rupanya juga dikemukakan dalam penjelasan Kode Etik Kedokteran Indonesia, Bab II, pasal 9, yang sekaligus juga mencerminkan sikap atau pandangan para dokter di Indonesia, tentang prinnsup euthanasia.

Sebaliknya bagi kelompok yang menyetujui adanya euthanasia itu, disertai argumentasi bahwa perbuaan demikian, terpaksa dilakukan atas dasar perikemanusiaan. Mereka tidak tega melihat penderitaan yang dialami oleh pasiennya, dan telah berulang kali minta kepadanya agar penderitaannya itu diakhiri saja. Dalam hubungan ini dr. R. Soerarjo Darsono, Direktur Rumah Sakit Dr. Kariadi, Semarang memberikan contoh sebagai berikut :

  • Seorang wanita yang telah hamil tua, kemudian mengalami suatu kecelakaan yang sangat parah, sehingga lehernya putus. Dengan demikian wanita tersebut telah mati. Masalahnya sekarang bagaimana dengan bayi yang masih berada di dalam perut sang ibu itu, yang menurut pemeriksaan dokter diperkirakan masih hidup. Bagaimana sikap seorang dokter dalam menghadapi keadaan demikian? Sedangkan dokter dituntut untuk bertindak. Apakah harus membuka perut si wanita tadi, dan mengambil bayinya, ataukah membiarkannya begitu saja? Jika dilakukan, apakah tidak mendahului kehendak Tuhan? Jadi merupakan suatu hal yang sangat dilemmatis. Dalam hal ini ada dua pendapat di antara para dokter, yang mengatakan :
  1. Harus dibuka, demi keselamatan dan langsung hidup si bayi itu.
  2. Biarkan saja, biar Tuhan sendiri yang melahirkannya.
  • Seorang yang menderita penyakit kanker yang ganas, pada stadium permulaan memang tidak terasa sakit, namun pada stadium terakhir, maka sakitnya bukan main dan hampir mendekati dosis kematian. Dalam hal demikian, ada sebagian dokter yang beranggapan sebaiknya diberi obat penghilang mati, juga untuk menghindari agar supaya jangan terjadi penularan penyakit ini. Di pihak lain menghendaki agar jangan diberi obat itu, dan jika terpaksa diberinya, maka setidak-tidaknya hanya untuk mengurangi rasa sakit-sakitnya saja, dan dokter tetap melindungi kehidupan pasien ini.17

Di dalam ilmi kedokteran, kata euthanansia dipergunakan dalam tiga arti yaiyu :

  1. Berpindah ke alam buka dengan tenaga alam, tanpa penderitan,buat yang bermain dengan nam Allah dibibir.
  2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit engan memberikan obat penenang.
  3. Mengahiri penderitan dan hidup seseorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.18

Dari ketiga jenis euthanasia diatas, ternyata pada jenis yang ketiga inilah yang senada dengan euthanasia dilarang oleh hukum pidana kita, dan diatiur dalam pasal 344 KUHP

Dibeberapa negara maju seperti Eropa dan Amerika mulai banyak terdengar suara-suara yang pro terhadap prinsip adanya euthanasia ini, mereka berusaha mengadakan gerakan unhtuk menguatkannya dalam undang-undang negaranya. Bagi orang yang kontra terhadap prinsip euthanasia, berpendapat bahwa tindakan demikian itu sama saja dengan membunuh. Kita di Indonesia sebagai negara yang beragama dan berpancasila, percaya kepada kekuasan mutlak dari Tuhan Yang Maha Esa. Segala sesuatu diciptakan-Nya dan penderitaan yang dibebankan kepada makhluk manusia, ada arti dan maksudnya. Oleh sebab itu, dokter harus mengeluarkan segala kepandaian dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup, tidak untuk mengakhiri hidup daripada sesama manusia.


 

  1. Pidana Mati "Euthanasia" dan Hak-hak Asasi Manusia

    Sudah sejak lama masalah pidana mati ini menjadi bahan perdebatan dikalangan ahli hukum pidana. Tetapi hingga sekarang, belum ada kata sepakat tentang perlu atau tidaknya pidana mati itu untuk dipertahankan. Jadi masalahnya masih merupakan pro dan kontra, rasanya sampai kapanpun kiranya masalah itu akan terus begitu saja. Sebagai negara masalah di dunia ini masih akan terus mempertahankan adanya pidana mati, termasuk didalamnya Indonesia. Sebagian pula ada yang telah menghapuskannya dalam undang-undang negaranya, dengan disertai alasan-alasan tertentu. Para sarjanapun ada yang kontra dan ada pula yang pro terhadap pidana mati. Bagi sarjana yang pro pidana mati, seperti misalnya : Bickon van Ysselmonde, Lombrosso, Garofalo, dan lain-lain, pada umumnya mendasarkan argumentasinya bahwa pidana mati itu dirasakan lebih praktis, biayanya ringan, lebih pasti dari pada pidana penjara, yang selama ini paling banyak dijatuhkan oleh Pengadilan manapun. Disamping itu di katakannya, bahwa pidana penjara sering diikuti kemungkinan melarikan diri bagi yang dikenal, sehingga bagi seseorang yang dianggap terlalu jahat, kemudian dijatuhi pidana mati, maka hilanglah rasa ketakutan kita, kalau orang yang demikian itu melarikan diri dari penjara dan kemudian membikin kejahatan lagi dalam masyarakat. Dalam hubungan ini, penulis tertarik dengan apa yang pernah dikatakan oleh Moderman, sebagai berikut :

    "Tokoh saudara-saudara masih mendirikan kebun-kebun binatang, di mana dikumpulkan binatang-binatang buas yang juga tidaklah mustahil dapat meloloskan diri dari kurungan-kurungannya dan mengacau keamanan masyarakat. Saya akan lebih takut andaikata tiba-tiba kepergok dengan binatang-binatang buas ini, daripada kepergok dengan penjahat yang dimaksudkan di atas.19

    Jadi di sini rupa-rupanya Moderman tidak menyetujui adanya pidana mati. Bagi sarjana-sarjana lain yang juga kontra terhadap pidana mati, seperti misalnya : Becaria, Voltaire, Roeslan Saleh, Sahetapy, dan lain-lain, mengemukakan antara lain bahwa masalah hidup dan mati itu bukanlah oleh pencipta-Nya yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Argumentasi ini rupa-rupanya didasarkan pada segi religius, yang memang bersendikan bahwa hidup dan mati itu adalah merupakan kekuasaan mutlak dari Tuhan. Di samping itu pidana mati dianggapnya sebagai suatu hal yang bertentangan dengan hak-hak asasi manusia, terutama yang paling utama, yaitu "hak untuk hidup" dari seseorang. Mengenai masalah pidana mati di Indonesia, Dr. J. E. Sahetapy, S.H., mengatakan bahwa pidana mati itu tidak sesuai dengan dasar falsafah Negara kita Pancasila. Beliau mengatakan bahwa sifat kehidupan Pancasila menghendaki adanya pergaulan hidup secara kekeluargaan, maka ini berarti behwa hidup kekeluargaan seyogyanya tidak mungkin mengenal adanya pidana mati. Hal ini dikemukakan berdasarkan kesimpulan peribahasa Jawa yang diuraikan oleh Prof. Soedirman Kartohadiprodjo, dan Dr. Soeripto, yang juga berkesimpulan bahwa kekeluargaan sama dengan Pancasila. Dalam alam hidup kekeluargaan di Negara ini, di mana hubungan antara warga Negara yang satu dengan warga Negara yang lain hendaknya erat sekali, begitu juga antara warga Negara dengan Negara (penguasa) sehingga dirasa kurang berperikemanusiaan jika di Negara ini terjadi pidana mati.20

    Negara di dalam usahanya melindungi dan mempertahankan hidup manusia, kadang-kadang justru terjadi suatu peristiwa yang sangat kontradiktif. Dikatakan sangat kontradiktif, karena sementara Negara melindungi hak-hak asasi manusia, terutama "hak hidup untuk", sementara itu pula manusia diakhiri hidupnya lewat jalan yang dianggapnya legal, yaitu lewat Pengadilan dengan menjatuhkan pidana mati. Walaupun hal ini dikatakan sebagai suatu hukuman akan tetapi hukuman mati pada hakekatnya juga tiada berbeda dengan membunuh.

    Lebih tragis lagi, bahwa pidana mati itu dilakukan disebagian besar Negara di dunia ini. Sebagai suatu contoh sejak jatuhnya Syah Iran baru-baru ini, tidak kurang dari enam ratus orang yang telah menjalani pidana di depan regu tembak. Pidana mati ini telah dijatuhkan oleh Pengadilan Revolusioner Iran, yang dibentuk setelah jatuhnya Syah Iran. Akan terasa mengerikan lagi ketika seorang tokoh politik terkenal dari Pakistas, Zulfikar Ali Bhutto (51 tahun), terpaksa dijatuhi pidana mati dan diakhiri hidupnya melalui tiang gantungan, yang sangat mengharukan.21

    Kenyataan demikian ini bahkan pernah terjadi di Indonesia juga. Sebagai contoh, Pengadilan Negeri Surabaya, dengan putusannya tanggal 13 Juli 1967 (perkara No. 2510/1965/Pid), telah menjatuhkan pidana mati kepada Terdakwa Oesin bin Umar Batfari, yang dipersalahkan melakukan pembunuhan dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu, yang dilakukan hingga enam kali berturut-turut, dan ia dikenal sebagai jagal manusia. Pada akhirnya Oesin menjalani pidana mati, karena grasinya tidak diterima oleh Presiden. Pidana mati yang dijalani oleh Oesin dengan dilaksanakan oleh regu tembak itu, mengakhiri hidupnya pada tanggal 14 September 1978.22

    Di samping itu masih banyak pula penjatuhan pidana mati, di mana mereka belum menentu nasibnya, karena menunggu putusan bandingnya, atau menunggu putusan grasinya kepada Presiden. Sebagai suatu contoh, di sini dapat dikemukakan terhadap pidana mati yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Semarang, kepada penjahat ulung Kusni Kasdut, begitu pula putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara/Timur, yang menjatuhkan pidana mati terhadap Carl Albert Togas, yang dianggap sebagai pembunuh berdarah dingin. Kecuali yang telah disebutkan tadi, kiranya masih banyak lagi Negara-negara lain yang telah menjatuhkan dan melaksanakan pidana mati, dengan suatu cara pelaksanaannya yang berbeda-beda.

    Secara langsung atau tidak, cara pelaksanaan pidana mati tersebut mencerminkan pilihan, cara yang dianggap paling manusiawi oleh masing-masing negara. Sesuatu negara mungkin menganggap tembak mati, adalah cara yang paling tepat. Negara lain berpendapat, yang paling tepat adalah dengan cara menggantungnya terpidana. negara yang lain lagi karena disesuaikan dengan perkembangan teknologi, mengatakan cara yang sesuai dengan memasukkan ke dalam kamar gas, atau diletakkan di atas kursi listrik. Bahkan masih ada juga yang memakai cara penggal kepala, di negara-negara tertentu, seperti Arab dan lain sebagainya.

    Terlepas dari cara yang dilakukan, secara alamiah maka pidana mati adalah bertentangan dengan kodrat alam. Naluri manusia selalu ingin mempertahankan hidupnya dari segala serangan yang menimpa atas dirinya. Pasti dia akan melakukan sesuatu dan mempertahankan diri, seandainya akan dibunuh oleh orang lain, misalnya. Begitu pula seseorang yang sedang sakit, pasti akan berusaha pula untuk berobat, agar cepat sembuh, di samping dia selalu berdoa kepada Tuhan bagi yang mengaku adanya Tuhan. Dengan demikian, hidup adalah merupakan kehendak yang paling dasar bagi setiap manusia normal. Oleh sebab itu, pidana mati dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.

    Seseorang pasti tidak akan luput dari suatu kesalahan. Demikian pula halnya dengan seorang hakim, dalam memeriksa suatu perkara, yang mungkin juga dapat membuat keliru. Sekarang yang menjadi masalah, bagaimana jika seseorang telah dipidana mati, dan telah dieksekusi, kemudian ternyata terjadi kekeliruan pengadilan (rechtelijke dwaling). Dalam hal ini terpidana sudah tidak dapat direhabilitir lagi nama baiknya, karena ia sudah mati. Apakah hal semacam ini tidak dirasakan sebagai suatu yang sangat kejam? Atas dasar ini, lalu orang tidak menyetujui adanya pidana mati.

    Pandangan yang menentang adanya euthanasia yang mendasarkan dari segi religius, kiranya kurang seirama dengan pandangan dari segi-segi hak asasi manusia. Kita tahu bahwa di dalam Universal Declaration of Human Right dari PBB telah mencantumkan sejumlah hak-hak asasi manusia. Begitu pula di dalam Undang-Undang Dasar 1945, walaupun tidak secara terperinci seperti yang terdapat dalam deklarasi PBB itu. Di antara sekian banyak hak-hak asasi manusia itu mungkin hanya hak untuk mati saja yang tidak ada. Walaupun kedengarannya sangat ganjil, tetapi hal ini cukup mengundang minat para ahli untuk memperbincangkannya, karena "hak untuk mati" ini dipandang sebagai telah tercakup pengertiannya di dalam "hak untuk hidup" yang selama ini dicantumkan secara tegas.

    Pandangan yang menentang prinsip euthanasia di atas akan berbenturan argumentasinya, jika dihubungkan dengan pidana mati, yang dijatuhkan oleh hakim. Sesuai dengan kodrat alamnya seseorang tertuduh yang divonis mati pada umumnya juga masih ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya. Atau dengan perkataan lain ingin menggunakan "hak untuk hidup"-nya. Disadari atau tidak, bahwa jeritan hati kecilnya, pasti mengatakan keinginannya untuk tidak mati. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa hakim telah memaksa kematian seseorang yang sebenarnya masih ingin hidup terus. Sedangkan pidana mati bukanlah satu-satunya jalan yang dapat ditempuh untuk mencapai euthanasia seorang pasien yang menghendaki kematian atas dirinya sendiri, justru malah dilarang dan dihalang-halangi untuk mati. Pada hal kematian yang memang diingini oleh pasien itu penderitaan yang tidak tertahankan lagi. Pendek kata, orang yang masih ingin hidup dipaksa untuk mati oleh hakim, sedangkan orang yang karena keadaan yang tak dapat dielakkan lagi, ingin mati dipaksa untuk hidup terus, walaupun penderitaan yang tiada menentu.

    Selanjutnya pandangan religius dari kelompok yang menentang prinsip euthanasia yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang dialami manusia itu, sudah menjadi kehendak Tuhan, sebab hal ini mengandung makna dan tujuan tertentu. Tetapi di samping itu, oleh Tuhan manusia juga diwajibkan berusaha untuk menghilangkan penderitaannya. Dalam hal demikian ini, pengobatan untuk penyembuhan dan menghilangkan penderitaan sudah tidak mungkin lagi. Jalan satu-satunya yang masih mungkin ialah, mengakhiri hidup si pasien tersebut, agar penderitaannya itu dapat segera berakhir. Apabila kematian untuk menghilangkan penderitaan memang diminta oleh pasien, pada hal jalan lain untuk menghilangkan penderitaan itu sudah tidak ada lagi, mengapa permohonan ini tidak dapat dikabulkan? Apakah kehendak untuk mati dalam kasus semacam ini tidak dapat dikatakan sebagai suatu "hak asasi" yang dalam hal ini sebagai "hak untuk mati"? Jika telah diakui bahwa menusia mempunyai sejumlah hak-hak asasi, apakah dipandang sebagai suatu kesalahan apabila kita mengakui pula adanya "hak untuk mati" terhadap kasus, khususnya kasus semacam ini?

    Hakim yang juga manusia biasa dapat menentukan kematian seseorang, lewat pidana matinya, di mana orang ini masih segar bugar, yang sebenarnya orang tersebut masih menginginkan untuk hidup, mengapa pasien yang juga sebagai manusia biasa yang menderita sakit yang tak terhingga, tidak dapat menentukan kematian atas dirinya sendiri? Bukankah kematian yang memang diminta pasien itu merupakan satu-satunya jalan untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan di lain pihak, hakim sebenarnya masih menempuh jalan lain, tidak harus menjatuhkan pidana mati.

    Apabila jalan pikiran seperti tersebut di atas itu diterima untuk menyetujui prinsip euthanasia, maka kehendak pasien untuk mati itu juga marupakan suatu asasi. Oleh karena itu, apabila seorang dokter menolak permintaan mati seseorang pasien yang sangat menderita, karena sakit yang tak dapat disembuhkan lagi itu, merupakan suatu pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Pelanggaran semacam ini tidak bedanya dengan pidana mati yang dijatuhkan oleh hakim terhadap si tertuduh di depan pengadilan. Hanya saja bedanya, bahwa di Pengadilan seorang hakim telah merampas hak manusia untuk hidup, sedangkan dalam euthanasia, seorang dokter telah merampas hak manusia untuk mati.

    Dasar pemikiran seorang hakim adalah menjatuhkan pidana mati, biasanya didasarkan demi kepentingan masyarakat, karena jika tertuduh dibiarkan begitu saja, akan dapat membahayakan masyarakat dan keamanan negara. Akan tetapi hendaknya jangan dilupakan, bahwa menyelamatkan kepentingan umum dan menyelamatkan keamanan negara, bukanlah satu-satunya jalan dengan menjatuhkan pidana mati. Dengan kata lain untuk menyelamatkan kepentingan masyarakat dan negara tidak harus dilakukan dengan jalan menjatuhkan pidana mati terhadap si terdakwa, sebab masih banyak cara-cara yang lain yang dapat ditempuh, misalnya dengan menjatuhkan pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama waktu tertentu, dan lain-lain. Dengan sendirinya harus diikuti pengawasan efektif dan pembinaan yang kontinyu, sehingga orang yang dipidana penjara ini, dapat berubah sikapnya, untuk kembali ke arah jalan yang benar dan insyaf. Kami yaki bahwa orang itu tidak selamanya akan berbuat jahat, suatu saat dia pasti akan sadar terhadap perbuatan yang pernah ia lakukan. Namun apabila dijatuhkan pidana mati, rasanya hukum ini tidak mempunyai sifat pembinaan sama sekali, dan bahkan tidak memberikan kesempatan kepada seseorang yang melanggarnya untuk memperbaiki perbuatannya, serta tidak mempunyai rasa perikemanusiaan, yang juga telah menjadi dasar negara kita, dengan dicantumkannya pada sila kedua dalam Pancasila.

    Kiranya sejalan dengan ini, maka dalam dunia kedokteran, bagi orang yang menyetujui prinsip euthanasia dilakukan atas dasar perikemanusiaan terhadap sesama manusia, yang tengah menderita sakit yang tiada menentu, dan tak dapat disembuhkan lagi, seperti di Indonesia sekarang ini, barangkali dapat ditempuh jalan tengah yang bertitik tolak pada prinsip euthanasia. Jadi seorang tertuduh yang dijatuhi pidana mati, hendaknya diberi kesempatan untuk mempergunakan hak asasinya, yaitu "hak untuk hidup" dan "hak untuk mati". Apabila tertuduh yang divonis mati tersebut dianggap menerima kematian atas dirinya. Dengan demikian ia dianggap telah mempergunakan "hak untuk mati"-nya, dan pidana mati yang telah dijatuhkan dapat dengan segera dieksekusi. Sebaliknya bila tertuduh menolak putusan hakim, berarti tertuduh masih ingin hidup, karena ia telah mempergunakan "hak untuk hidup"-nya. Dengan demikian harus dicarikan jalan keluarnya, sehingga kehidupan terdakwa itu betul-betul dilindungi dan oleh hukum dan dihargai hak asasinya. Jalan keluar ini misalnya dengan mengubah pidana mati yang telah dijatuhkan itu dengan pidana penjara seumur hidup, atau pidana sejenis lainnya, yang dapat dijatuhkan dalam tingkat banding atas kasasi. Dengan cara tersebut di atas, baik "hak untuk hidup" dan "hak untuk mati", kiranya telah sama-sama dihargai oleh hukum, terutama hukum pidana. Dengan diakuinya "hak untuk hidup" dan "hak untuk mati" dari manusia ini, dimaksudkan untuk melindungi manusia terhadap penganiayaan atau penyiksaan dan kekejaman serta untuk melindungi terhadap tindakan yang tidak berperikemanusiaan dari sesame umat manusia.

    Wirjono Prodjodikoro R, Prof., Dr., S.H., HukumAcara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, 1977, hlm. 16.

2     Moeljanto, Prof., S.H., Op cit, hlm. 117.

3     Karjadi M, Righlement Indonesia yang dibaharui, (S-1941 No. 44), Plitea Bogor,, 1975, hlm. 84.

4     Sahetay, J. E. Dr., S. H., Problema Masa Depan Euthanasia dalam KUHP, di dalam Parodos dalam Kriminologi, Pusat Studi Kriminologi, Fakultas Hukum Unair, Surabayat, 1976, hlm. 55.

5    Sahetapy, J.E. Dr., S.H., The Criminological Aspect of Euthanasia According to the Present Indonesian Penal Code, dalam Majalah Badan Pembinaan Hukum Nasional, Penerbit Bina Cipta, Jakarta, Tahun : 2, No. 7, 1976, hlm. 23.

6     Moeljatno, Prof., S.H., Op cit, hlm. 116.

7     Ibid.

8     Moeljatno, Prof., S.H., Ibid, hlm. 42.

9 Muladi S.H., kuliah Hukum Pidana, Untag Semarang, tanggal 24 Maret 1977.

10    Sudarto S.H., Hukum Pidana jilid II, Badan penyediaan bahan kuliah Fakultas Hukum Undip Semarang, 1971 hlm. 64.

11 Sahetapy, J.E. Dr., S.H., Op cit hlm.57.

12    Kode Etik Kedokteran Indonesia-Lampiran III (Decralation of Genewa) oleh Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila Kedokteran Nasional, Yayasan Penerbitan IDI Jakarta, 1969.

13
Ibid, hlm. 20.

14 Kode Etik Kedokteran Indonesia, Ibid.

15 Moeljatno, Prof., S.H., Op cit, hlm. 117.

16    Wawancara dengan dr. R. Soerarjo Darsono, Direktur Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang, 30 Oktober 1979.

17
Wawancara dengan dr. R. Soerarjo Darsono, Direktur R.S. Dr. Kariadi Semarang, 30 Oktober 1979.

18 Kode Etik Kedokteran Indonesi, Op cip, hlm. 21.

19 Roeslan Sakeh, Prof., Mr, Masalah Pidana Mati, Askara Baru, Jakarta 1979, hlm. 13.

20    Sahetypy, J. E. Dr., S. H., Sekali lagi tentang Pidana Mati, dalam Harian Sinar Harapan, Senin 16 Oktober 1978, hlm. 8.

21    Sinar Harapan, 2 April 1979, hlm. 7.

22
Sinar Harapan, 2 Oktober 1978, hlm. 9.

1 komentar:

Aulia mengatakan...

ini coppas dari bukunya pa djoko prakoso en pa djaman andhi ya pa?

saya ijin coppas juga ya... :)
mkasih...