Senin, 07 Desember 2009

PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERBURUHAN


 

I.    PENDAHULUAN

    Masih segar dalam ingatan kita, ketika ribuan buruh berdemonstrasi menentang diberlakukannya Undang-undang tentang Penyelesaian Hubungan Industrial. Para buruh menolak diberlakukannya Undang-undang tersebut karena dinilai kurang memperhatikan hak-hak buruh dan lebih mementingkan hak-hak pengusaha.

    Terlepas dari masalah apakah para buruh menyetujui atau tidak Undang-undang tentang Penyelesaian Hubungan Industrial tersebut, pada kenyataannya Undang-undang tersebut tetap diberlakukan oleh Pemerintah.

    Dibentuknya Undang-undang ini adalah karena Peraturan yang mengatur tentang penyelesaian hubungan industrial selama ini ternyata belum mewujudkan suatu penyelesaian perselisihan secara cepat, tepat, adil, dan murah. Untuk itulah dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial ditawarkan solusi untuk menyelesaikan perkara penyelesaian hubungan industrial dengan cara tepat, tepat, adil dan murah.

    Bilamana timbul perselisihan antara buruh/pekerja dengan pengusaha, maka seringkali pihak buruh/pekerja menjadi pihak yang lemah dibandingkan dengan pengusaha. Hal ini disebabkan karena secara sosiologis kedudukan buruh/pekerja adalah sebagai penerima pekerjaan, sedangkan kedudukan pengusaha merupakan pemberi kerja. Hal ini berimplikasi pada psikologis baik itu buruh/pekerja maupun pengusaha. Karena anggapan sebagian masyarakat kita pemberi kerja adalah orang yang berkuasa atas penerima kerja sehingga apapun yang diperbuatnya akan sulit untuk disalahkan. Lebih luas lagi dampak yang akan ditimbulkan akibat dari perselisihan tersebut, antara lain adanya pemutusan hubungan kerja yang dapat menambah jumlah pengangguran, ini tidak hanya menjadi masalah pribadi buruh/pekerja tetapi sudah merupakan masalah bangsa dan negara.

    Melihat kedudukan buruh yang seringkali menjadi pihak yang lemah itulah mengapa selain buruh memerlukan perlindungan pemerintah dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang dapat mengakomodasikan kepentingan buruh, buruh juga memerlukan wadah dimana para buruh bisa bergabung untuk dapat mewujudkan aspirasinya dan dapat bertindak bersama-sama bilamana menghadapi konflik kepentingan dengan pengusaha.


 

II SEKILAS SEJARAH PERBURUHAN DI INDONESIA

A.    Zaman Perbudakan

    Hubungan perburuhan sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu dimulai dengan zaman dimana hubungan industrial dilakukan dengan sesuka hati majikan. Pada zaman ini orang yang melakukan pekerjaan di bawah pimpinan orang lain yang disebut budak tidak mempunyai hak apapun. Budak dianggap sebagai barang yang bisa dimiliki dan diperlakukan sesuka hati majikan. Pada tahun 1861 pecah perang antara pihak yang ingin menghapuskan perbudakan dan yang ingin mempertahankan perbudakan tersebut, antara Amerika Utara dan Selatan yang dimenangkan Amerika Utara pada tahun 1865.

B.    Zaman Penjajahan Belanda

    Pada masa penjajahan Belanda hubungan perburuhan ditandai dengan kekuasaan pihak penjajah yang terkenal dengan tiga macam peraturan yaitu :

1.    Tanam paksa

    Pada masa ini pemerintah mengharuskan rakyat yang mempunyai tanah untuk menanami 1/5 dari tanahnya dengan tanaman yang ditentukan oleh pemerintah, seperti kopi, teh, dan lain-lain. Sedang bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah harus bekerja selama 1/5 tahun tanpa upah pada kebun-kebun pemerintah. Pada masa ini buruh belum mendapatkan hak-haknya sama sekali.

2.    Kerja Rodi pada tahun 1807 – 1811

    Pada masa ini rakyat diharuskan melakukan kerja paksa tanpa mendapat upah. Kerja rodi ini dilakukan untuk berbagai keperluan antara lain yang terkenal dengan proyek kerja paksa untuk membangun jalan Raya Anyer sampai Penarukan (Banyuwangi) yang diprakarsai oleh Hendrik Willem Deandels (1807-1811).

    Selain kerja rodi pada tahun 1872 juga dikenal istilah Punale Sanksi. Punale sanksi merupakan pengenaan sanksi pidana atau denda kepada orang yang tidak melakukan pekerjaannya tanpa alasan yang layak. Berbeda dengan kerja rodi yang tidak mengenal perjanjian kerja dan upah, dalam punale sanksi sudah ada perjanjian kerja dan upah. Namun perjanjian kerja tersebut bukan ditanda tangani oleh pengusaha dan buruh, tetapi antara Gubernur dengan Kepala Desa untuk jangka waktu 5 tahun, tetapi setelah 5 (lima) tahun berlalu, pekerja masih dapat dipaksa untuk terus bekerja. Demikian juga mengenai jam kerja, upah dan hal lainnya, semuanya bisa diubah oleh pengusaha sesuka hatinya. Punale Sanksi baru bisa dicabut pada tahun 1941 dan sejak 1 Januari 1942 telah lenyap dari perkebunan-perkebunan di Indonesia.

3.    Pada Masa Kemerdekaan

a.    Masa Orde Lama

    Pada masa ini kondisi perburuhan mengalami perbaikan dengan keluarnya Peraturan-peraturan perburuhan seperti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian perburuhan. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan swasta dan lain-lain. .

b.    Masa Orde Baru

    Pada masa ini pemerintah mengeluarkan berbagai paket kebijakan untuk menarik investor luar negeri menanamkan modalnya di Indonesia dan berhasil menarik investor asing tersebut. Pada masa ini Pemerintah telah meratifikasi Deklarasi Hak Azasi Manusia dan beberapa Konvensi Perburuhan namun dalam prakteknya kedudukan buruh dianggap belum setara dengan pengusaha.

c.    Reformasi

    Pada tahun 1998 Pemerintahan Orde Baru tumbang dan digantikan oleh Orde Reformasi. Pada masa ini terjadi perubahan besar dalam gerakan buruh. Demonstrasi yang pada masa orba dilarang, pada masa ini sering digelar, ditambah dengan krisis ekonomi yang melanda negeri secara berkepanjangan, sehingga menyebabkan para investor memindahkan investasinya ke luar negeri.

    Pada masa ini telah disahkan beberapa undang-undang yaitu Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Dengan lahirnya Undang-undang baru ini diharapkan buruh akan memperoleh posisi yang setara dengan pengusaha dan diperoleh hak-haknya.


 

III.    PIHAK-PIHAK DALAM PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

A.    Pihak Pengusaha

    Yang dimaksud pengusaha disini adalah pengusaha dalam pengertian majikan, yaitu sebagai pihak penyelenggara hubungan kerja dengan buruh atau karyawan dengan mengadakan pekerjaan dan mempekerjakan buruh atau karyawan tersebut dengan imbalan kerja yang layak, sebagaimana yang telah diperjanjikan antara majikan dan karyawannya tersebut sejak awal hubungan kerja itu mereka adakan, yang biasanya berupa gaji /upah, fasilitas tertentu (misalnya kendaraan, perumahan, dan sebagainya) dan/atau tunjangan-tunjangan lainnya.

Sedangkan organisasi majikan pada dasarnya ialah suatu organisasi atau kelompok majikan yang dibentuk oleh para majikan sebagai suatu wadah kerjasama bagi mereka dalam memecahkan persoalan-persoalan usaha yang bersifat rutin, ekonomis dan teknis serta sekaligus juga tentunya mengenai ketenagakerjaan.

Dalam penyelesaian hubungan industrial organisasi majikan atau pengusaha ini tidak begitu berperan karena organisasi tersebut dibentuk dengan tujuan sekedar sebagai kerjasama saling membantu tetapi tidak bersifat dominan dalam menentukan atau menetapkan sesuatu yang berarti di dalam dunia hubungan industrial.


 

B.    Pihak Pekerja dan Serikat Pekerja

Pekerja atau buruh pada dasarnya ialah orang atau pihak yang bekerja pada majikan untuk mengerjakan atau melakukan sesuatu tugas tertentu dengan menerima imbalan tertentu pula sebagaimana yang telah diperjanjikan bersama majikan yang bersangkutan sejak awal hubungan kerja itu mereka adakan.

Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perburuhan, pengertian buruh/pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perburuhan, pengertian buruh adalah barangsiapa bekerja pada majikan dengan menerima upah.

Pengertian serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.

Mengapa buruh memerlukan untuk berserikat antara lain karena melalui serikat maka kepentingannya dapat terlindungi sebagaimana pendapat John A. Fossum sebagai berikut :

"However the survey also found that respondents saw unions as effective in protecting workers from unfair treatment and improving wages and job security."

Melalui serikat buruh inilah para buruh bisa merundingkan apa yang mereka inginkan dengan pengusaha dengan dilindungi oleh hukum sebagaimana dijelaskan oleh Mary Cornish dan Lynn Spink sebagai berikut :

"Having a union means you can bargain and sign a collective agreement with the employer, an agreement that both you and the employer have to stick to, by law."

Serikat buruh/pekerja akan berusaha memperjuangkan hak-hak mereka terhadap pengusaha melalui perundingan.

    Memang dlaam hal ini jumlah pekerja/buruh yang sedemikian besarnya maka adanya organisasi buruh akan sangat diperlukan dalam suatu perusahaan. Karena dengan adanya serikat pekerja ini maka apabila terjadi konflik atau perselisihan maka akan lebih mudah diselesaikan dan akan menguntungkan kedua belah pihak.

    Pemerintah telah menerbitkan undang-undang nomor 21 tahun 200o tentang serikat pekerja buruh dengan tujuan untuk memberikan keleluasaan bagi pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepentingan dan haknya.


 


 

IV.    PERSELISIHAN PERBURUHAN

Perselisihan perburuhan ialah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa sebagai pihak yang berselisih adalah antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Adapun jenis-jenis dari perselisihan tersebut adalah meliputi :

1.    Perselisihan hak

2.    Perselisihan kepentingan

3.    Perselisihan karena pemutusan hubungan kerja

4.    Perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan.


 

Ad. 1.    Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul akibat adanya perbedaan penafsiran/keinginan buruh dan pengusaha terhadap hal-hal yang telah diatur dalam peraturan perburuhan, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan hak sering juga disebut yang bersifat normatif, yaitu perselisihan terhadap hal-hal yang bersifat normatif, yaitu perselisihan terhadap hal-hal yang telah ada pengaturan atau dasar hukumnya. Hal ini bisa terjadi karena adanya perbedaan penafsiran dan perbedaan kepentingan. Perbedaan penafsiran dapat terjadi karena aturan yang ada tidak jelas atau tidak tegas mengatur suatu perbuatan. Sedangkan perbedaan kepentingan dapat timbul sebagai akibat perbedaan penafsiran yang berdasar pada perbedaan kepentingan yaitu kepentingan pekerja/serikat buruh dengan kepentingan pengusaha.

Ad.2.    Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul terhadap hal-hal yang belum diatur dalam perundang-undangan, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan kepentingan ini sering juga disebut perselisihan yang tidak normatif.

Ad.3.    Perselisihan karena pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul sebagai akibat pemutusan hubungan kerja. Masalah pemutusan hubungan kerja telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Pemutusan Hubungan Kerja. Pada umumnya perselihan PHK terjadi akibat pertentangan pendapat terhadap dua hal, yaitu sah atau tidaknya PHK dan atau besarnya jumlah pesangon. Apabila PHK dilakukan denganh alasan yang jelas dan kuat, maka beban pengusaha untuk membayar pesangon akan semakin rendah atau bahkan tidak ada. Sebaliknya jika PHK dilakukan secara sewenang-wenang, maka beban tersebut akan semakin besar karena Undang-undang memberi hak kepada pekerja/buruh untuk meminta pesangon yang tinggi.

Ad.4.    Perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan.

    Perselisihan ini dapat terjadi karena pendirian serikat buruh sudah dapat dilakukan apabila mempunyai 10 orang anggota. Hal ini berarti dalam satu 10 orang anggota perusahaan dapat terdapat lebih dari 1 serikat buruh yang tentu saja akan rawan menimbulkan konflik.


 

V.    PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Prinsip dasar penyelesaian perselisihan yang terjadi dalam hubungan industial di Indonesia adalah melalui jalan kekeluargaan atau musyawarah untuk mencapai mufakat. Namun demikian tidak semua permasalahan yang terjadi dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah, sehingga untuk itulah dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 disediakan beberapa alternatif untuk menyelesaikan perselisihan tersebut yaitu melaui jalur non litigasi dan litigasi.

A.    Sebelum diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial dapat ditempuh beberapa tahapan penyelesaian perselihan hubungan industrial yang ditetapkan dalam UU PPHI, sebagai berikut :

1.    Lembaga Bipartit

    Penyelesaian melalui bipartit merupakan upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang meliputi perselisihan hak, perselisihan kepentingan, PHK, dan antara serikat pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh yang dilakukan secara dua pihak, yaitu antara pihak pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh.

    Penyelesaian perselisihan secara bipartit ini wajib dilaksanakan sebelum menempuh upaya yang lebih tinggi. Pasal 136 ayat 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan : "Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh secara musyawarah untuk mufakat."

    Hasil perbandingan bipartit dituangkan dalam berita acara yang memuat hasil perundingan. Berita acara tersebut harus dilampirkan manakala perundingan tersebut gagal dan para pihak bermaksud mengajukan permohonan penyelesaian melalui lembaga selanjutnya.

    Apabila penyelesaian bipartit ini berhasil mencapai kesepakatan maka dibuat Perjanjian Bersama (PB) yang mengikat kedua belah pihak dan selanjutnya didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial setempat untuk memperoleh Akta Bukti Pendaftaran, yang akan digunakan sebagai dasar untuk mengajukan eksekusi jika ada pihak yang mengingkari kesepakatan.

    Namun jika upaya bipartit tersebut gagal, maka risalah kegagalan tersebut harus dibuat untuk diserahkan kepada mediator untuk ditindak lanjuti. Penyelesaian secara bipartit ini harus selesai dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak dimulainya perundingan.

2.    Lembaga mediasi

    Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenaga kerjaan yang bertugas untuk melakukan mediasi dan memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berperkara guna menyelesaikan perselisihannya.

    Jika perundingan melalui mediator berhasil mencapai kesepakatan, maka segera dibuat Perjanjian Bersama (PB) yang ditanda tangani kedua belah pihak dan disaksikan oleh mediator. Perjanjian Bersama (PB) tersebut selanjutnya didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran.

    Apabila perundingan tersebut tidak tercapai, maka mediator akan membuat anjuran tertulis kepada kedua belah pihak. Atas anjuran tersebut para pihak harus sudah memberi jawaban selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah anjuran diterima. Jika anjuran tersebut diterima oleh kedua belah pihak maka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari setelah para pihak menyatakan penerimaannya, mediator harus sudah membantu para pihak untuk membuat Perjanjian Bersama (PB) dan mendaftarkannya ke Pengadilan Hubungan Industrial, sedangkan apabila para pihak atau salah satu pihak menolak isi anjuran, maka perselisihan tersebut bisa digugat melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Dalam hal para pihak tidak memberi jawaban maka bisa dianggap telah menolak anjuran. Anjuran harus sudah dikeluarkan oleh mediator dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan atas perselisihan hubungan industrial tersebut.

3.    Lembaga Konsiliasi

    Konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi olehs eorang atau lebih konsiliator yang netral. Konsiliator yaitu seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan tersebut. Jadi berbeda dengan mediasi yang dapat menyelesaikan segala jenis perselisihan dan bersifat wajib setelah kegagalan upaya bipartit, maka konsiliasi hanya dapat menyelesaikan perselisihan di luar perselisihan hak, serta merupakan lembaga pilihan, yakni konsiliasi hanya dapat ditempuh apabila kedua belah pihak yang berselisih sepakat untuk mencari penyelesaian lembaga tersebut. Apabila para pihak tidak memilih upaya konsiliasi maupun arbitrase setelah upaya bipartit gagal, maka penyelesaian harus dilaksanakan melalui mediasi.

    Berbeda dengan mediator maka konsiliator bukan pejabat pemerintah melainkan bersifat adhock.

    Lembaga konsiliasi menyelesaikan perselisihan melalui musyawarah, namun apabila tidak tercapai konsiliator akan mengeluarkan anjuran, yang berisi pendapat konsiliator atas perselisihan tersebut. Pihak yang merasa dirugikan atas anjuran tersebut berhak menolak melaksanakan isi anjuran dan mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

    Apabila penyelesaian melalui konsiliasi berhasil mencapai mufakat, maka konsiliator membantu para pihak untuk membuat Perjanjian Bersama atau mendaftarkan ke Pengadilan Negeri setempat untuk mendapatkan alat bukti perjanjian bersama. Konsiliator harus sudah menyelesaikan/mengeluarkan anjuran atas perselisihan tersebut dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permintaan penyelesaian.

4.    Lembaga arbitrase

    Arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan di luar Pengadilan Hubungan Industrial, melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan perselisihan kepada arbiter yang mengikat para pihak dan bersifat final.

    Sama     dengan konsiliasi, lembaga arbitrase juga merupakan lembaga yang hanya dapat menyelesaikan suatu perselisihan hubungan industrial, apabila pihak-pihak yang bersengketa bersepakat untuk menyelesaikan perselisihan tersebut melalui arbitrase kesepakatan penyelesaian tersebut biasanya dilakukan dalam bentuk perjanjian secara tertulis. Kesepakatan tertulis tersebut sangat penting karena berkaitan dengan masalah yurisdiksi. Apabila dalam suatu perjanjian telah dipilih arbitrase sebagai forum penyelesaian maka pengadilan menjadi tidak memiliki yurisdiksi (kewenangan) untuk memeriksa serta mengadili perkara.

    Dalam proses persidangan, arbiter akan berusaha mendamaikan kedua belah pihak, sehingga perselisihan dapat selesai secara kekeluargaan. Apabila terjadi penyelesaian damai, maka arbiter akan membantu para pihak untuk membuat perjanjian bersama dan mendaftarkannya di Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial untuk mendapatkan Akte Bukti Perjanjian Bersama.

    Namun apabila tidak dapat tercapai kesepakatan maka arbiter akan mengeluarkan putusan yang bersifat final. Atas putusan ini tidak dapat diajukan ke Pengadilan karena putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat semua pihak dan mempunyai kekuatan tetap.

    Apabila ada pihak-pihak uyang merasa dirugikan atas putusan tersebut maka satu-satunya upaya hukum adalah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak dikeluarkannya Putusan Arbitrase.

    Putusan arbitrase didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di Pengadilan Negeri di wilayah arbiter yang menetapkan putusan.

    Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pengajuan permohonan pembatalan, Mahkamah Agung harus mengeluarkan putusan.

    Alasan-alasan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) menurut pasal 52 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 adalah :

a.    Surat atau dokumen yang diajukan pada saat pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui atau dinyatakan palsu.

b.    Setelah putusan diambil, diturunkan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan pihak lain.

c.    Putusan diambil berdasarkan tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan.

d.    Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial.

e.    Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase harus sudah diselesaikan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penanda tanganan surat perjanjian penunjukkan arbiter, dengan ketentuan dapat diperpanjang satu kali, sebanyak 14 (empat belas) hari kerja, dengan persetujuan kedua belah pihak.

B.    Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial.

1.    Susunan Pengadilan Hubungan Industrial

Pengadilan hubungan industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Pengadilan ini secara kelembagaan berada dalam lingkungan peradilan umum. Kompetensi absolut pengadilan ini bertugas dan berwenang memeriksa, memutus :

a.    Tingkat pertama mengenai perselisihan hak.

b.    Tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan.

c.    Tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja.

d.    Tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Pengadilan Hubungan Industrial bertempat di Pengadilan Negeri, namun tidak semua Pengadilan Negeri dapat menyidangkan hubungan industrial. Untuk saat ini telah dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial di Jakarta Pusat. Pengadilan Hubungan Industrial nantinya akan dibentuk di tiap provinsi.

Susunan hakim pada Pengadilan Hubungan Industrial terdiri dari :

a.    Hakim

b.    Hakim Ad. Hoc.

c.    Panitera muda

d.    Panitera Pengganti


 

Hakim merupakan Hakim Negeri yang berasal dari Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Hakim Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dan dilantik berdasarkan Keputusan Ketua MA. Sedangkan untuk Hakim Ad Hoc diangkat berdasarkan Keputusan Presiden atas usul Ketua MA, dengan masa kerja selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.

Untuk pertama kalinya pengangkatan Hakim Ad Hoc dilakukan paling sedikit 5 (lima) orang dari unsur serikat pekerja/buruh dan 5 (lima) orang dari unsur pengusaha.

2.    Proses Beracara di Pengadilan Hubungan Industrial sama seperti beracara di Pengadilan Negeri maka ada tahap-tahap yang harus dilakukan :

a.    Tahap pengajuan gugatan.

1)    Tahap pendaftaran perkara di Kepaniteraan

2)    Tahap pembentukan majelis

3)    Tahap penentuan hari sidang

4)    Tahap pemanggilan pihak-pihak

b.    Tahap persidangan

1)    Perdamaian oleh hakim

2)    Pembacaan surat gugat

3)    Acara jawab jinawan

4)    Pemeriksaan bukti baik surat-surat maupun saksi-saksi.

5)    Kesimpulan

6)    Putusan

Seluruh pedoman beracara di Pengadilan Hubungan Industrial ini mengikuti pedoman beracara Berperkara di Pengadilan Negeri sebagaimana diatur di dalam HIR, RV,

3.    Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses Peradilan Hubungan Industrial.

Gugatan oleh pekerja/buruh atas hubungan kerja hanya dapat diajukan dalam tenggang 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha. Pengajuan gugatan wajib melampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi.

    Dalam hal perselisihan dan/atau perselisihan kepentingan di ikuti dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja maka PHI wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya.

    Bahwa tidak sama dengan acara dalam gugatan pada umumnya, maka proses beracara dalam Pengadilan Hubungan Industrial ini terdiri dari dua macam yaitu pemeriksaan dengan acara biasa dan proses pemeriksaan dengan acara cepat yang dapat dimohon oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

    Putusan harus sudah dijatuhkan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama.

    Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap, sedangkan perselisihan mengenai pemutusan hubungan kerja dan perselisihan hak dapat dilakukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan dibacakan atau diberitahukan.


 

VI PENUTUP

    Dengan telah dibentuknya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ini diharapkan pihak-pihak yang sering mengalami benturan kepentingan yaitu antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha/gabungan pengusaha dapat menyelesaikan perselisihan dengan baik, sehingga tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.

    Dalam Undang-undang ini telah diatur dengan sistematis tahap-tahap dalam penyelesaian Hubungan Industrial tersebut, mulai dari :

a.    Lembaga Bipartit

b.    Lembaga Mediasi

c.    Lembaga Konsiliasi

d.    Pengadilan Hubungan Industrial

    Tahap-tahap tersebut harus dilakukan agar bilamana timbul perselisihan yang sifatnya sederhana dan penyelesaiannya mudah, maka dapat dilakukan secara musyawarah. Sedangkan untuk permasalahan yang bersifat kompleks setelah diusahakan penyelesaiannya melalui musyawarah namun tidak berhasil maka permasalahan tersebut dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Agar Pengadilan Hubungan Industrial dapat segera menyelesaikan kasus-kasus hubungan industrial dengan cepat dan adil, maka dalam proses beracara dibedakan dengan proses beracara di Pengadilan Negeri pada umumnya. Hal ini ditandai dengan dibentuknya Majelis Hakim yang terdiri dari Hakim Karier dan Hakim Ad Hoc yang masing-masing dipilih oleh kalangan pekerja/serikat pekerja dan pengusaha/gabungan pengusaha. Dengan demikian diharapkan Majelis Hakim yang mengadili perkara hubungan industrial betul-betul menguasai masalah yang menjadi sengketa sekaligus dapat mengakomodasikan kepentingan masing-masing pihak yang bersengketa.

    Agar penyelesaian perkara perselisihan hubungan industrial ini cepat selesai dan mempunyai kekuatan hukum tetap maka Undang-undang memberikan batas waktu tertentu yaitu 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak hari sidang pertama.

    Demikian juga agar putusan segera mempunyai kekuatan hukum tetap, maka Undang-undang membatasi hanya kepada putusan tentang perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan hak yang dapat diajukan upaya hukum, itupun langsung kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.

    Terakhir, semoga dengan telah lahirnya Undang-undang tentang Penyelesaian Hubungan Industrial ini maka tidak ada lagi perselisihan yang berlarut-larut antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha/gabungan pengusaha. Dengan demikian akan tercipta suatu suasana kerja yang kondusif yang pada gilirannya dapat menarik investor luar negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang berimbas pada kesejahteraan bangsa Indonesia.


 

DAFTAR PUSTAKA

Cornis, Mary and Lynn Spink. Organizing Unions. Second Story Press. Toronto, Ontario. 1994.


 

Damanti, Sehat. Hukum Acara Perburuhan. DSS Publishing. Jakarta. 2005.


 

Gultom, Sri Subiandini. Aspk Hukum Hubungan Industrial. PT. Hecca Mitra Utama, Jakarta. 2005.


 

Fosum, John. A. Labour Relations ; Development, Structure Process. Business Publications. Inc.


 

Khalian Abdul. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. PT. Citra Aditya Ba… Bandung. 2003


 

Sulaiman Abdullah. Hukum Perburuhan : Materi Perkuliahan Hukum Perburuhan pada Konsentrasi Hukum Ekonomi atau Hukum Bisnis Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Indonesia. Jakarta. 2005.

Widodo Hartono, Judiantoro. Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Rajawali Pers. 1989.


 

Perundang-undangan

-    UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja / Buruh.

-    UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

-    UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Tidak ada komentar: