Rabu, 02 Desember 2009

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BERLAKUNYA HUKUM DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN.

Ditengah-tengah berbagai pemberantasan kejahatan yang makin marak dari segi jenis, kuantitas dan kualitas, berbagai pihak mengeluhkan penegakan hukum di Indonesia. Penegakan Hukum telah menjadi ungkapan sehari-hari dikalangan masyrakat., pejabat, pengamat mahasiswa, pelaku dan anggota masyarakat biasa. Demikian pula kalangan pers sangat bersahabat dengan ungkapan ini. Berbagai media massa memberitakan aparat penegak hukum yang terkena sangkaan dan dakwaan korupsi atau suap, mafia peradilan marak dituduhkan karena putusan badan peradilan dapat diatur. Hukum seolah-olah dapat dimainkan, diplintir, bahkan hanya berpihak pada mereka yang memiliki status sosial yang tinggi.

Terdapat kesamaan dari berbagai kalangan mengenai masalah dan peristiwa penegakan Hukum. Hampir semua menyatakan bahwa penegakan hukum saat ini belum memuaskan. Bahkan ada yang menyatakan, penegakan hukum makin jauh dari rasa keadilan. Karena sering didapati penegakan hukum ternyata tidak mampu, memberi kepuasan dan memenuhi rasa keadilan masyarakat umum.

Tidak terlalu berlebihan apabila kalangan penegak hukum dinilai lemah dan telah kehilangan kepercayaan masyarakat. Masyarakat menjadi apatis, mencemooh dan dalam keadaam tertentu kerap melakukan proses pengadilan jalanan (steeet justice).

Dalam kondisi seperti ini muncul pertanyaan ditengah-tengah masyarakat "mengapa hukum sulit ditegakkan?", bahkan lebih sarkastis masyarakat bertanya " apakah hukum di Indonesia sudah mati?". Masyarakat seolah tidak dapat memahami mengapa hukum tidak dapat berfungsi (dysfunction) sebagaimana yang diharapkan.

Keprihatinan Masyarakat atas penegakan hukum memunculkan sejumlah analisa dan lontaran ide bagi perbaikan. Analisa dan Lontaran ide ini dianggap sah bila disampaikan oleh mereka yang berlatar belakang ilmu hukum. Alsannya adalah penegakan hukum terkait dengan ilmu hukum. Padahal bila bicara jujur, di berbagai fakultas hukum tidak ada mata kuliah yang secara sfesifik membahas masalah penegakan hukum. Adalah tidak benar masalah penegakan hukum dominan hukum pidana.

Penulis akan mencoba memaparkan faktor yang mempengaruhi berlakunya hukum di Indonesia. Yang selama ini menjadi pertanyaan dan masalah yang dihadapi oleh bangsa indonesia.


 

II. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BERLAKUNYA HUKUM.

    Problem penegakan hukum di Indonesia sebenarnya suah banyak di sampaikan oleh para pakar, ahli, birokrat diberbagai forum. Seperti menurut Robert B Seidman ada tiga faktor yang berpengaruh berlakunya hukum yaitu : 1.Peraturan Perundang-Undangan. 2.Aparat Pelaksana (penegak hukum) dan 3.Masyarakat (kesadaran dan kepatuhan hukum). Sedangkan menurut Soerjono Sukanto menyatakan ada lima faktor yang mempengaruhi bekerjanya hukum dimasyarakat, yaitu : 1.Peraturan Perundang-Undangan. 2.Aparat Pelaksana (penegak hukum) dan 3.Masyarakat (kesadaran dan kepatuhan hukum). 4. Sarana Prasarana. 5.Dana. Selain faktor yang telah disebutkan Robert B Seidman dan Soerjono Sukanto perlu juga ditambahkan juga mengenai masaslah kesejahteraan bagi penegak hukum serta 2. Diterapkannya Reward and punishment. Disini penulis akan mencoba mengemukakan hal tersebut tanpa mengesampingkan pendapat-pendapat yang telah ada.


 

A. Keadaan Peraturan Perundang-undangan

    Von Savigny menyatakan bahwa hukum itu sebagai sesuatu yang tumbuh atau didapatkan dalam pergaulan masyarakat, sedangkan Jeremmy Bentham menyatakan bahawa hukum itu dapat lahir dari perbuatan penguasa. Lebih-lebih saat sekarang ini, kebanyakan peraturan perundang-undangan merupakan produk penting dari pemegang kuasa. Hal ini terjadi bukan karena dorongan kekuasaan untuk mengatur, bukan karena kepada kekuasaan diberi kekuasaan membentuk hukum/aturan, akan tetapi masyarakat sendiri yang menghendaki agar kekuasaan membentuk hukum/peraturan perundang-undangan. Lembaga Negara yang dikehendaki masyarakat tersebut sering disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

    Peraturan perundang-undangaan sangat berpengaruh terhadap penegakkan hukum, oleh karena itu sejak dibuat oleh pembentuknya perundanga-undangan harus menyerap nilai, aspirasi yang ada dimasyarakat. Selama ini pembuat peraturan perundang-undangan tidak memberi perhatian yang cukup apakah aturan yang nantinya bisa dijalankan atau tidak. Pembuat peraturan perundang-undangan sadar ataupun tidak telah mengambil asumsi aturan yang dibuat akan dengan sendirnya berjalan.

    Undang-Undang kerap kali dibuat oleh DPR tanpa memperhatikan adanya jurang untuk melaksanakan UU antara satu daerah yang satu dan daerah yang lain. Sering Undang-Undang yang dibuat hanya mengambil sampel didaerah Jakarta saja, tidak melihat di daerah lain. Konsekuensinya UU tersebut pada daerah-daerah tertentu sangat sulit dilaksanakan.

    Sebagai contoh dalam undang-undang Perlindungan Anak, anak diharapkan tidak bekerja sejak kecil, sedangkan untuk didaerah pantai untuk jadi seorang nelayan, seseorang harus berusaha menyesuaikan dengan laut sejak kecil, maka wajar apabila seorang anak tersebut sejak kecil sudah membantu keluarganya atau bekerja di pantai sebagai nelayan.

    Selain itu pembuat undang-undang tidak melihat infrastruktur hukum yang berbeda diberbagai wilayah di Indonesia. Padahal infrastruktur hukum sangat penting dalam rangka penegakan hukum, tanpa infrastruktur yang memadahi tidak

mungkin peraturan perundang-undangan ditegakkan seperti yang diharapkan oleh pembuat undang-undang.

    Peraturan perundang-undangan sering dibuat tidak realistis, ini terjadi terhadap pembuatan peraturan perundang-undangan yang merupakan pesanan dari elit politik, negara asing maupun lembaga keuangan internasional. Disini peraturan dijadikan sebuah komoditas.

    Elit politik dapat menetukan agar suatu peraturan perundang-undangan dibuat, bukan karena kebutuhan masyrakat, melainkan agar Indonesia mematuhi peraturan perundang-undangan yang sebanding (comparable) dengan negara industri. Sementara negara asing ataupun lembaga keuangan internasional dapat meminta Indonesia membuat peraturan perundang-undangan tertentu sebagai syarat indonesia mendapat pinjaman dari liuar negeri ataupun berupa sebuah hibah.

    Peraturan perundang-undangan yang menjadi komoditas, biasanya kurang memperhatikan isu penegakan hukum. Sepanjang trade off dan pembuatan peraturan perundang-undangan telah didapat maka penegakan hukum bukan hal penting. Bahkan peraturan perundang-undangan seperi ini sangat tiudak realitis untuk ditegakkan karena dibuat dengan cara mengadopsi langsung peraturan perundang-undangan dari negara lainyang notabene memiliki infrasktruktur yang jauh berbeda dengan Indonesia.

    Wewenang membentuk hukum tidak hanya diberikan pada cabang kekuasaan legeslatife, tetapi pada kekuasaan administratif negara (eksekutif) dalam bentuk peraturan administrasi negara atau peraturan yang dibuat berdasarkan pelimpahandari badan legeslatif (delegated legislation). Bahkan tedapat kecenderungan yang menunjukan cabang kekuasaan membentuk undang-undang makin kendor atau paling kurang, berjalan tidak sebanding dengan kecepatan pembentukan hukum oleh admistrasi negara (eksekutif). Demikian pula pembentukan hukum oleh hakim (judge made law). Hakim-hakim bukan sekedar "broche de la loi" tetapi menjadi penterjemah atau pemberi makna melalui penemuan hukum (rechtschepping) bahkan mencipta hukum baru melalui putusannya.

    Menurut Muchsin bahwa peraturan hukum seyogyanya juga dapat menjangkau masa depan yang jauh, agar peraturan-peraturan hukum tersebut dapat berlaku lama, dan dengan demikian akan didapat suatu kekekalan hukum. Peraturan hukum diciptakan dan dituangkan dalam bentuk perundang-undangan, bukan untuk mengatur yang statis atau tidak berubah-ubah, tetapi justru mengatur kehidupan yuang dinamis. Materi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan haruslah lengkap, yang dirumuskan dengan teliti dan cermat walaupun tanpa menghilangkan sifatnya yang harus dapat mengikuti perkembangan keadaan (luwes) dan bahasa yang jelas agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda, dan pemasyarakatan, mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi keberhasilan usaha penegakan hukum dalam masyarakat.

    Menurut Bagir Manan peraturan yang baik itu akan memuat kriteria-kriteria sebagai berikut :

  1. Keharusan adanya kewenangan dari pembaut peraturan perundang-undangan, setiap peraturan perundang-undangan mediasi yaitu harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang, kalau tidak peraturan perundang-undangan itu batal demi hukum;
  2. Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materai yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan tingkat yang lebih tinggi atau yang sederajat;
  3. Keharusan mengikuti tata cara tertentu, apabila tata cara tersebut tidak diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
  4. keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya;.

Semakin baik suatu peraturan hukum akan semakin memurnikan penegakkannya, sebaliknya, semakin tidak baik suatu peraturan hukum akan semakin sukarlah menegakkannya.


 

B. Pelaku Penegakkan Hukum

    Disetiap lini penegakkan hukum, aparat dan pendukung penegak hukum, sangat rentan dann terbuka peluang pratek korupsi atau suap. Hal ini juga wajar jika dilihat gaji atau upah yang diterima oleh aparat penegak hukum sendiri sangat rendah, bahkan belum tentu mencukupi untuk kebutuhan keluarga, oleh karena itu seharusnya kesejahteraan aparat penegak hukum lebih utamakan. Gaji yang besar dan tunjangan kesejahteraan yang telah sesuai dengan taraf hidup masyarakat, akan membuat penegak hukum kebal terhadap rayuan suap maupun korupsi. Tentunya gaji dan tunjangan yang besar harus diikuti dengan punishment yang tegas terhadap ini.

    Sekarang ini dari semua lini penegakkan hukum hanpir bisa ditemukan praktek-pratek korupsi maupun suap. Dalam tingkat penyidikan uang dapat mempengaruhi posisi tawar atas pasal-pasal yang akan disangkakan. Dalam tingkat penuntutan, uang bisa berpengaruh atas diteruskan tidaknya penuntutan oleh penuntut umum, bahkan jika penuntutan itu dilakukan maka uang akan berpengaruh terhadap berat tuntutan yang akan dikenakan. Di Institusi peradilan uang juga berpengaruh atas putusan yang akan dijatuhkan oleh Hakim. Uang dapat melepasakan atau membebaskan terdakwa, jika dinyatakan bersalah uang dapat mengatur rendah dan seringannya hukuman yang dijatuhkan. Sedangkan di Lembaga Pemasyarakatan uang akan berpengaruh kepada narapidana, yaitu siapa yang memiliki uang akan mendapat perlakuan yang lebih baik dan manusiawi.

    Penegakkan hukum seharusnya jangan dijadika komoditas politik. Terlihat pada pemerintahan soeharto penegakan hukum digunakan sebagai komoditas politik. Penegakan hukum digunakan untuk mempertahankan kekuasaan dan menjebloskan kedalam penjara atas lawan-lawan politiknya.

    Penegakan hukum akan dilakukan secara tegas karena penguasa memerlukan alasan yang sah untuk melawan kekuatan pro-demokrasi atau pihak-pihak yang membela kepentingan rakyat, tetapi penegak hukum menjadi lemah apabila pemerintah atau elit politik yang menjadi pesakitan.

    Problem lain dari penegak hukum adalah masih adanya budaya ewuh pakewuh, dan adanya penegakan hukum yang masih diskriminatif. Tersangka korupsi dan pencuri sandal akan mendapat perlakuan yang berbeda. Tersangka yang memiliki status sosial tinggi akan diperlakukan secara istimewa. Penegak hukum seolah-olah hanya berpihak kepada si kaya tetapi tidak pada si miskin, bahkan hukum berpihak pada mereka yang memiliki jabatan dan koneksi dan para pejabat hukum atau akses terhadap keadilan.

    Karena budaya ewuh pakewuh ini status sosial seolah menjadi penting bagi mereka yang menghadapi proses hukum, semakin tinggi status sosial semakin tinggi rasa sungkan aparat penegak hukum. Sebaliknya semakin seseorang memiliki status sosial yang rendah semakin rendah semakin mudah aparat penegak hukum melakukan tindakan tindakan tidak terpuji.

    Masalah penegak hukum juga pada masalah sumber daya manusianya. Diawal-awal kemerdekaan istitusi hukum kejaksaan ataupun peradilan diisi oleh para tokoh-tokoh yang tidak jarang menjadi guru besar pada universitas ternama. Profesi hakim dann jaksa sangat dihormati, temasuk penghasilan hakim dan jaksa sangat besar, lebih dari seorang advokat.

    Tapi sekarang banyak lulusan terbaik dari universitas yang ternama yang menolak menjadi seorang hakim ataupun jaksa, tetapi mereka lebih memilih bekerja sebagai lawyer yang mana gajinya lebih besar dari pada gajin seorang hakim atau jaksa. Keenganan untuk memasuki lembaga peradilan atau kejaksaan juga terindikasi karena proses rekruitmennya adanya suap.

    Aparat Penegak hukum juga tidak akan lepas dari peran dari peran Advokat. Dalam dunia advokat Amir Saymsudin menggolongkan kedalam 2 kelompok, yaitu advokat yang tahu hukum dan advokat yang tahu hakim, jaksa, polisi pendeknya advokat yang tahu koneksi. Advokat yang tahu koneksi kerap menjadi makelar perkara. Bahkan mereka berani menjanjikan kemenangan bila klien bersedia memberi sejumlah uang yang menurutnya untuk para aparat penegak hukum.

Menurut Hermein Hadiadi Koeswadji merumuskan 3 (tiga) faktor yang dapat menjadi penentu tegaknya hukum, yaitu :

  1. Integritas secara keseluruhan sebagai aparat;
  2. Integritas profesional;
  3. Keberanian moral untuk mengambil keputusan.

Upaya untuk mewujudkan aparat penegak hukum yang profesional dan berintegritas moral yang lebih baik dipengaruhi oleh :

  1. Sistem Perekrutan;
  2. Promosi jabatan;
  3. Pendidkan Kejenjang yang lebih tinggi;
  4. Pelatihan;
  5. Mekanisme Pengawasan yang efektif dari Masyarakat;
  6. Kesejahteraan;
  7. Dukungan sarana prasarana.

Selain profesionalisme, aparat penegak hukum juga harus mempunyai integritas moral yang tinggi, sehingga dapat menahan diri dari godaan-godaan kebendaan.


 

C. Masyarakat dan Budaya Hukum.

    Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku. Nilai-nilai mana merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dituruti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).

    Kebudayaan Indonesia merupakan dasar atau menadasari hukum adat yang berlaku. Hukum adat tersebut merupakan kebiasaan yang berlaku di kalangan rakyat banyak. Akan tetapi di samping itu berlaku pula hukum tertulis (perundang-undangan) yang dibentuk oleh golongan tertentu dalam masyarakatyang mempunyai kekuasaan wewenang untuk itu. Hukum perundang-undangan tersebut harus dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat agar hukum perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara efektif. Semakin banyak persesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah menegakkannya. Sebaliknya, apabila suatu peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan atau menegakkan peraturan hukum dimaksud.

Masyarakat Indonesia terutama yang berada di kota-kota besar bila mereka berhadapan dengan prosese hukum akan melakukan berbagai upaya agar tidak dikalahkan atau terhindar dari hukuman, kenyataan ini mengindikasikan masyarakat diindonesia sebagai masyarakat pencari kemenangan ,bukan pencari keadilan sebagai kemenangan, tidak heran bila semua upaya akan dilakukan ,baik yang sah maupun yang tidak,semata –mata untuk mendapat kemenangan.

    Tipologi masyarakat pencari kemenangan merupakan problem bagi penegakan hukum,terutama bila aparat penegak hukum kurang berintegritas dan rentan suap.masyarakat pencari kemenangan akan menfaatkan kekuasaan dan uang agar memperoleh kemenangan dan terhindar dari hukuman.

    Tipologi masyarakat seperti ini tentunya berpengaruh secara signifikan terhadap lemahnya penegakan hukum.hukum tidak bisa tegak selama masyarakat mencari kemenangan.

    Menurut Soerjono Soekanto ketika berbicara masalah penegakan hukum dan masyarakat sedikit banyak berbicara mengenai derajat kepatuhan. Derajat Kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Semakin tingginya derajat kepatuhan terhadap suatu peraturan perundang-undangan maka peraturan perundang-undangan tersebut berarti berfungsi.

    Selain itu untuk meningkatkan derajat kepatuhan masyrakat terhadap hukum dapat ditempuh dengan upaya-upaya sebagai berikut :

  1. penyuluhan hukum secara teratur
  2. Peberian teladan yang baik dari petugas didalam hal kepatuhan terhadap hukum dan respek terhadap hukum.
  3. Pelembagaan yang terencana.

Bahwa selain itu perlu peran pengendalian sosial lainnya seperti agama atau istiadat semakin tinggi, maka semakin kecil peranan hukum. Hal ini karena dalam setiap masyarakat selalu mempunyai tatanan yang akan dipatuhi.


 

D. Keterbatasan Dana

    Problem lain dari lemahnya penegakan hukum adalah keterbatasan anggaran.penganggaran bagi infrastruktur hukum oleh tidak dialokasikan secara memadai.

    Institusi pengadilan yang seharusnya menunjukan kewibawaan melalui bangunannya masih banyak yang memprihatinkan,bahkan dalam ukuran yang tidak sebanding dengan keangkerannya.Ruang-ruang sidang jauh dari kesan nyaman sehingga tidak memungkinkan orang mengikuti secara cermat proses persidangan.

    Lebih menyedikan lagi para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara harus menggunakan peraturan perundang-undangan ini seharusnya merupakan kewajiban dan disediakan oleh negara.perpustakaan dipengadilan kebanyakan sangat miskin literatur sehingga tidak mungkin dijadikann rujukan untuk membuat putusan hakim.

    Pengalokasian anggaran baik polisi,jaksa dalam penangani suatu kasus jauh dari memadai,padahal kasus yang harus dipecahkan atau disiapkan untuk dituntut secara kompeks.dalam kondisi keterbatasan anggaran ,kerap pihak yang melapor kepolisi dapat kehilangan rumah.

    Keterbatasan anggaran kerap disiati oleh aparat penegak hukum .polisi lalu-lintas,misalnya,untuk menyisati keterbatasan anggaran menggunakan patung polisi ataupun gambar mobil polisi pada sebuah triplek.ini kerena negara belum menganggarkan personil polisibatau mobil polisi yang bertugas selama dua puluh empat jam. patung dan gambar polisi berfungsi untuk alat untuk menakut-menakuti pengendara yang bermental takut pada hukum.Pendeknya keterbatasan anggaran telah membuat penegakan hukum lemah,tidak efektif dan kurang bergigi.


 

E. Fasilitas dan Sarana Prasarana

    Secara sederhana fasilitas dapat dirumuskan sebagai sarana untuk mancapai tujuan. Ruang lingkupnya adalah terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Apabila sarana dan prasarana sudahn ada maka faktor-faktor pemeliharanya juga memegang perananan yang sangat penting. Memang sering kali terjadi bahwa suatu peraturan perundang-undangan diberlakukan padahal sarana pendukungnya belum tersedia lengkap.

    Peraturan yang semula bertujuan untuk memperlancar suatu proses, malahan mengakibatkan terjadinya kemacetan. Mungkin ada baiknya bahwa pada waktu hendak menerapkan suatu peraturan resmi ataupun memberikan tugas kepada petugas dipikirkan dahulu sarana dan fasilitasnya.

    Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana dan fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadahi, keuangan yang cukupdan seterusnya. Kalau hal ini tidak terpebuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya.


III. PENUTUP

    Dari uraian diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa penegakan hukum yang amburadul saat sekarang ini bukan karena salah adari aparat penegak hukum, seperti sekarang ini yang dituduhkan. Tetapi ada banyak faktor yang mempengaruhi berlakunya hukum.

Untuk berlakunya hukum di indonesia secara efektif tidak hanya tergantung pada satu faktor saja. Setidaknya dari uraian penulis ada 5 hal yang mempengaruhi berlakunya hukum di indonesia, yaitu
1.Keadaan Peraturan Perundang-undangan, 2.Pelaku Penegakkan Hukum, 3.Masyarakat dan Budaya Hukum., 4.Keterbatasan Dana dan 5. Fasilitas dan Sarana Prasarana.
Bahwa faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Jika ada satu faktor yang bermasalah maka upaya penegakan hukum pasti akan menemui kendala.


 

DAFTAR PUSAKA

Amir Saymsudin, Antara Pengacara Nekat Dan Sukses, Kompas hal 10 dalam www.kompas.com/koinpascetak/05/2/O5fopini/2267269.htin

Bagir Manan, Penegakan Hukum Yang Berkeadilan, Jakarta, Varia Peradilan, edisi Nopember 2005,

---------------, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Jakarta : Ind-Hill Co

Hikmanto Juwana, Penegakan Hukum dalam kajian law and development: Problem Dan Fundamenn Bagi Solusi di Indonesia, Jakarta, Varia Peradilan, edisi Maret 2006,

Muchsin, Menyongsong Kehadiran Pengadilan Hubungan Industrial, Varia Peradilan, edisi Nopember 2005,

-------------, Menyongsong Kehadiran Pengadilan Perikanan, Majalah Hukum Varia Peradilan, Edisi Juni 2006

Riyanto Adi, Sosiologi Hukum, tidak diterbitkan, Jakarta Juni 2000

Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, CV Rajawali Sakti Jakarta, 1980,

Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, CV Rajawali Sakti Jakarta, 1983

Hermein Hadiadi Koeswadji, Implementasi UU no 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Makalah simposium, Rehabilitasi Daerah Gempa Flores, NTT, 1993

. .

  1. Hikmanto Juwana, Penegakan Hukum dalam kajian law and development: Problem Dan Fundamenn Bagi Solusi di Indonesia, Jakarta, Varia Peradilan, edisi Maret 2006, hal 12
  2. Ibid, hal 13
  3. Muchsin, Menyongsong Kehadiran Pengadilan Hubungan Industrial, Varia Peradilan, edisi Nopember 2005, hal 37
  4. Ibid.
  5. Ibid.
  6. Bagir Manan, Penegakan Hukum Yang Berkeadilan, Jakarta, Varia Peradilan, edisi Nopember 2005, hal 5.
  7. Ibid.
  8. Muchsin, Menyongsong Kehadiran Pengadilan Perikanan, Majalah Hukum Varia Peradilan, Edisi Juni 2006 hal 27
  9. Ibid
  10. Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Jakarta : Ind-Hill Co, hal 14-15
  11. Amir Syamsudin, Antara Pengacara Nekat Dan Sukses, Kompas halaman 10 dalam www.kompas.com/koin pas-cetak/05/2/O5fopini/2267269.htin
  12. Hermein Hadiadi Koeswadji, Implementasi UU no 24 tahun 1992 tentang Penataan ruang, Makalah simposium, Rehabilitasi Daerah Gempa Flores, NTT, 1993
  13. UU no 25 tahun 2000 tentang Propenas Bab III
  14. Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, CV Rajawali Sakti Jakarta, 1980, hal 18
  15. Ibid.


 

1 komentar:

Aisyah M.Yusuf mengatakan...

Allah ta’ala berfirman (yang artinya):
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari? Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada [hukum] Allah bagi orang-orang yang yakin.” (QS. Al-Ma’idah: 50)

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [QS. Al-Maaidah : 44].

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim” [QS. Al-Maaidah : 45].

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” [QS. Al-Maaidah : 47].

“Maka demi Rabbmu, mereka tidak akan beriman sehingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusanmu dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’ (4): 65)