Senin, 02 Agustus 2010

KEWENANGAN PERADILAN AGAMA dan RUU tentang HUKUM MATERIIL PERADILAN AGAMA

Oleh : Wasis Priyanto, SH, MH


 

Berbicara tentang hukum tentunya tidak akan luput untuk membicarakan tentang masyarakat, hal tersebut sebagaimana perkataan pemikir yunani yaitu Marcus Tallius Cicero yang mengatakan ubi societes ubi ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum). Seiring perkembangan jaman, masyarakat selalu berkembang, begitu juga hukum terus melaju seakan terus mengikuti perkembangan zaman, meskipun kadang perkembangan hukum masih harus tertatih-tatih mengikuti perkembangan zaman (het recht hink achter de feiten aan);

Hukum yang selalu dikatakan ketinggalan dari perkembangan jaman, karena seiring perkembangan jaman, akan terjadi pergeseran nilai, yang dulunya hanya sebuah hal biasa namun dengan perkembangan jaman hal tersebut berubah menjadi perbuatan tercela bahkan menjadi perbuatan pidana. Disinilah diharapkan bahwa Hukum itu merupakan sebuah kristalisasi dari naluri, persaan, kesadaran, sikap, perilaku, kebiasaan, adapt nilai atau budaya yang hidup di mayarakat.

Hukum selama ini diartikan masyarakat dalam bentuk Peraturan Perundang-udangan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang dalam hal ini secara lebih khusus diaktakan Undang-Undang yang dibuat oleh Lembaga Legislatif, ternyata belum mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat, banyak aspek kehidupan dalam masyarakat yang perlu diatur atau sudah ada aturanya namun aturan perlu diperbarui. Aspek kehidupan yang oleh Negara atur bukan hanya mengenai hubungan dalam bermasyarakat, namun sudah memasuki wilayah pribadi manusia sebagaia anggota masyarakat;

Salah satu aspek kehidupan manusia yang mana pemerintah turut campur adalah masalah perkawinan (penikahan), bentuk pengaturannya jelas sekali sebagaimana keluarnya UU No.1/1974 tentang Perkawinan, dan Peraturan Pelaksana (PP) No. 9/1975 tentang Pelaksana UU Perkawinan, namun selama ini peraturan tersebut masih dinilai lemah, dan kurang memadai bagi Peradilan Agama RI untuk memeriksa, memutuskan, dan menyelesiakan perkara. sumber hukum yang digunakan hakim Peradilan Agama bersumber dari Kompilasi Hukum Islam (KHI). Secara yuridis, KHI hanya diatur oleh Instruksi Presiden (Inpres) No.1/1991.;

Berbicara tentang perkawinan, tak hanya hak untuk menikah yang terlibat di dalamnya, namun hak-hak perempuan, hak untuk mendapatkan keturunan, hak anak, hak untuk memilih pasangan, dan masih banyak yang lainnya. Karena itu, pembentukan peraturan perundang-undangan yang menilai UU No.1/1974 tentang Perkawinan, dan Peraturan Pelaksana (PP) No. 9/1975 tentang Pelaksana UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI). Secara yuridis, KHI hanya diatur oleh Instruksi Presiden (Inpres) No.1/1991. sudah tidak lagi memadahi, Pemerintah berusaha mengakomodasi untuk berusaha merevisi peraturan tersebut diatas yaitu dengan cara membuat RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan

RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan adalah salah satu usaha pemerintah (sebagai penggagas) untuk membentuk hukum perkawinan yang akomodatif terhadap hak. Meski telah diusulkan sejak enam tahun lalu, namun kini baru menuai kontroversi ,Hal itu mungkin karena kini RUU tersebut baru saja dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010.

Dalam makalah ini yang menjadi sebuah pertanyaan, apa saja yang tercantum dalam RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama dan bagaimana eksistentsi Peradilan Agama apabila RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama telah disahkan untulk menjadi Undang-undang;


 

Hal Baru dalam RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama

RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama (RUU HMPA) terdiri dari 25 BAB dan 156 pasal, yang pada pokok nya mengatur mengenai Perkawinan, dalam RUU ini akan terjadi perubahan yang cukup sigfikan, karena ada beberapa hal yang tidak diatur dalam UU no 1 tahun 1974 jo PP no 9 tahun 1975 tetapi diatur dalam RUU Tersebut, yaitu diantaranya:

  1. Ketentuan Umum (BAB I);
  2. Masalah Peminangan (BAB III) ;
  3. Mahar (BAB V)
  4. Taklik Talak (bab VII bagian Kesatu);
  5. Perkawinan Perempuan Hamil karena zina (BAB VIII);
  6. Rujuk ( BAB XIX);
  7. Ketentuan Pidana (Bab XXI)

Selain ketentuan tersebut diatas, hal suadh diatur dalam UU no 1 tahun 1974 jo PP no 9 tahun 1975 diatur lebih mendetil dan terperinci dalam RUU HMPA yaitu dasar-dasar perkawianan, rukun dan syarat perkawinan, larangan perkawinan dan perkawianan yang dilarang, perjanjian perkawinan, beristri lebih dari satu, pencegahan perkawinan, batal perkawinan, dan masih banyak lagi;

    Dalam ketentuan umum ini yang perlu di kritisi adalah mengenai hal baru yang sebelumnya tidak diatur dalam ketentuan lama, yaitu mengenai Nikah Mutah dan zina, Dalam RUU HMPA disebutkan Perkawinan Mutah adalah perkawinan yang dilangsungkan untuk jangka waktu tertentu dengan maksud untuk mencari kesenagan dan/atau kepuasan seksual sedangkan Zina adalah hubungan badan di luar nikah yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan;

Zina menurut KUHP, hanya dapat terjadi bila ada persetubuhan antara kedua orang pelaku (pria dan wanita) telah kawin, atau salah satu dari keduanya telah terikat perkawinan dengan orang lain. Bukanlah perzinahan apabila perzinahan itu dilakukan dengan paksaan (vide pasal 285 KUHP), persetubuhan dengan perempuan dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (vide pasal 286 KUHP) dan persetubuhan dengan perempuan yang belum cukup umur lima belas tahun (vide pasal 287 KUHP). perzinahan hanya dapat terjadi jika ada persetubuhan yang dilakukan orang yang telah terikat dengan perkawinan. Sedangkan orang yang belum menikah dalam perbuatan ini adalah termasuk orang yang turut melakukan (medepleger), delik perzinahan adalah delik aduan absolut (absoluut klachdelicten) yang hanya dapat dituntut atas pengaduan suami atau isteri yang tercemar dengan adanya perzinahan itu (vide pasal 284 ayat (2) KUHP).

RUU HMPA mengartikan ZINA sebagaimana menurut hukum pidana Islam, tidak mempersoalkan apakah pelaku-pelakunya telah diikat perkawinan dengan orang lain atau belum. hubungan badan di luar nikah yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan adalah zina; namun dalam RUU HMPA mengatur Perzinaan tidak secara terperinci tidak sebagaimana dalam hukum islam, Zina dalam Hukum Islam Zina digolongkan menjadi 2 yaitu : Apabila persetubuhan ini dilakukan oleh orang yang telah menikah maka pelakunya disebut pelaku muhsân, dan apabila persetubuhan ini dilakukan oleh orang yang belum menikah maka pelakunya disebut pelaku gâiru muhsân. Perbedaan ini berkaitan dengan masalah sanksi yang akan dijatuhkan. Sedangkan dalam RUU HMPA, zina yang dikenakan sanksi akan dibahas di bawah ini;

Perbedaan mengenai zina ini karena adanya perbedaan system hukum yang mendasarinya, Zina dalam KUHP berasal dari system hukum Pidana, sedangkan ZINA dalam RUU HMPA berasal dari hukum islam, senada dengan pernyataan Ahmad Bahiej bahwa Sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan, perzinahan akan dipandang sebagai sebuah perbuatan yang asusila. Namun hal ini berbeda menurut masyarakat yang lebih bercorak individualis. Mereka menilai perzinahan sebagai bentuk perbuatan yang biasa dan tergantung kemauan tiap individu. Perzinahan akan dipandang tercela jika terjadi hal itu dilakukan dalam bingkai perkawinan.

RUU HMPA sebagaimana kebiasaan suatu peraturan perundang-undangan juga mencantumkan mengenai Ketentuan Pidana yaitu sanksi pidana bagi pelanggarnya. Ketentuan Pidana dimaksud diatur dalam Pasal 143 s.d. Pasal 150 RUU,yang terkait dengan:

  • Pelaksanaan perkawinan tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah,
  • Perkawinan mutah, perkawinan poligami tanpa izin pengadilan,
  • Penceraian isteri tidak didepan sidang pengadilan,
  • Perzinaan dengan seorang perempuan yang belum kawin sehingga hamil sementara pelaku laki-lak imenolak mengawininya,
  • Pelanggaran kewajiban oleh Pejabat Pencatat Nikah,
  • Siapapun yang bertindak sebagai Pejabat Pencatat Nikah dan/atau wali hakim,
  • Siapapun yang tidak berhak sebagai wali nikah, tetapi dengan sengaja bertindak sebagai wali nikah.

Tindak Pidana Dalam RUU HMPA ini terncantum dalam Bab XXI terdiri dari :dan digolongkan menjadi 2 yaitu :

  1. Pelanggaran yaitu : Pelaksanaan perkawinan tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah (Pasal 143,) perkawinan poligami tanpa izin pengadilan (pasal145), Penceraian isteri tidak didepan sidang pengadilan (pasal 146), Pelanggaran kewajiban oleh Pejabat Pencatat Nikah (pasal 148) yang mana ancaman hukumannya adalah denda paling banyak Rp 6 Juta atau pidana kurungan 6 bulan;
  2. Tindak Pidana Kejahatan , yaitu : Perkawinan mutah (Pasal 144,) Perzinaan dengan seorang perempuan yang belum kawin sehingga hamil sementara pelaku laki-laki menolak mengawininya (pasal 147), Siapapun yang bertindak sebagai Pejabat Pencatat Nikah dan/atau wali hakim (pasal 149), Siapapun yang tidak berhak sebagai wali nikah, tetapi dengan sengaja bertindak sebagai wali nikah (pasal 150) yang mana ancaman hukumannya adalah pidana penjara selama 3 tahun, kecuali pasal 147 (3 bulan);

Pidana yang dikenakan kepada pelaku tindak pidana diatas ada yang berupa pidana denda, pidana kurungan, dan/atau pidana penjara yang penindakannya didasarkan pada laporan masyarakat atau pihak-pihak yang berkepentingan, setelah melalui penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. (pasal 153), dari rumusan pasal ini, bagaimana kalau tidak ada laporan dari masyarakat atau pihak-pihak yang berkepentingan, apakah bisa dilakukan penyidikan, dan penuntutan;

Dari ketentuan pidana tersebut, yang paling banyak disorot adalah mengenai ketentuan pasal 143 RUU HMPA :

'Setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan)

Nikah siri (nikah yang tidak dicatat dalam catatan sipil) sebagaimana ketentuan dalam pasal 143 RUU HMPA ternyata ditanggapi berbeda oleh kelompok masyarakat, ada yang sepakat ada yang menolak. Kelompok yang mendukung RUU memaparkan argumentasi bahwa RUU itu diperlukan untuk melindungi kaum Perempuan yang tertindas dan dapat dikategorikan sebagai kaum yang lemah yang tidak mendapatkan kepastian hukum akibat nikah siri. Sementara kelompok yang menentang RUU didasarkan bahwa norma itu telah diatur didalam ajaran agama (terutama agama islam) sehingga tidak perlu lagi diatur oleh negara.

Berkaitan nikah siri, perlu disimak Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1776K/pdt/2007 tanggal 28 Juli 2009, bahwa dapat diambil sebuah kadiah hukum yaitu : perkawinan Tjia Mei Joeng dengan Liong Tjung Tjen yang dilakukan secara adapt, dan tidak dicatatkan pada catatan sipil di pandang tetap sah dan penggugat harus dinyatakan sebagai janda Liong Tjung Tjen.

Berikut ini pendapat beberapa orang pakar, terkait dengan masalah Nikah Siri, yaitu, menurut Bagir Manan : " pencatatan perkawinan adalah sesuatu yang penting saja untuk dilakukan, oleh karena itu tidak mengurangi keabsahan perkawinan itu sendiri" disamping itu menurut Mahfud MD : " perkawinan siri tidak melanggar konstitusi, karena dijalankan berdasarkan akidah agama yang dilindungi undang-undang 1945; Sedangkan Haripin A. Tumpa : "kalau perkawinan yang tidak dicatatkan merupakan gejala umum dan didasarkan atas itikad baik atau ada factor darurat, maka hakim harus mempertimbangkan"

Thomas Hobbes, Jhon Locke, JJ Rousseau dan atau Roscoe Pound menyebutkan hukum adalah instrumen pengubah masyarakat, yang harus berjalan sebagai pengayom dan pelindung warga Negara, karena sejatinya hukum diciptakan untuk memenuhi rasa keadilan manusia. Hukum memang bisa digunakan untuk mengatur masyarakat, namun dari hal yang terungkap diatas, apakah pencatatan pernikahan harus dipaksakan dengan sanksi pidana, padahal masih banyak beberapa kendala dalam pencatatan itu sendiri, padahal dalam situasi tertentu ternyata Penikahan yang tidak dicatatkan pun masih diakui secara hukum ( lihat putusan MA RI). Bagir Manan mengungkapkan bahwa salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat rekayasa sosial, namun keberlakuan suatu peraturan secara sosiologis tidak dapat dipaksakan hanya dengan sanksi pidana. Hal itu terbukti di negara Israel dan Turki yang juga ingin mengatur soal perkawinan Islam namun keduanya gagal. Lagipula bukankah fenomena kawin kontrak, kawin siri dan mutah lebih disebabkan kepada kurangnya penghargaan terhadap hak-hak perempuan dan kurangnya pengetahuan akan peraturan di daerah tersebut. Rendahnya kepekaan birokrasi perkawinan (yang rumit dan mahal) juga menambah derita.

Perlindungan terhadap hak-hak istri dan anak melalui peraturan mengenai perkawinan adalah mutlak perlu, namun cara yang ditempuh haruslah lebih "smart" daripada sekedar sanksi pidana dan denda. Ada hal yang perlu diingat, bahwa ketika negara sudah mengkriminalisasikan Pernikahan siri, namun bagaimana dengan zina (kumpul kebo), Homoseksual, lesbian, yang mana tidak satu pun ada aturan yang mengatur, padahal itu juga dampak yang sangat besar, dibanding pernikahan siri, ketika nikah siri dikriminalisasi apakah tidak membuat perzinahan semakin merajalela;


 

KEDUDUKAN (EKSISTENSI) PERADILAN AGAMA DALAM PENEGAKAN SYARIAT ISLAM;

Penegakan syariat Islam dapat dilakukan dengan menggunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu pendekatan struktural dan pendekatan Kultural. Pendekatan struktural menginginkan penegakan syariat terstruktural dalam sistem hukum nasional dengan hukum substasial dan hukum acara yang jelas dan penegakan yang jelas melalui penegakan hukum, sedangkan pendekatan cultural menginginkan penegakan syariat tumbuh dari pembiasaan masyarakat melalui usaha persuasive seperti pendidikan, percontohan yang bai dan lain-lain sesuai dengan pengertian ad-din (agama) itu sendiri yang secara bahasa berupa ketaatan, ketundukan dan ketakutan invidu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di Indonesia yang menganut politik Hukum pancasila, menilai hukum islam tidak dapat serta merta menjadi hukum positif dari sisi bentuknya, hukum islam menjadi sumber hukum materiil dimana substansinya dapat menjadi substansi hukum nasional dengan bentuk peraturan perundang-undangan nasional. Perkembangan lainnya yang justru memeprkuat kedudukan hukum islam sebagi sumber Hukum materiil, seperti sejak UU no 22 tahun 1999 kepala daerah diberi kewenangan untuk membuat perda yang materinya bersumber pada hukum agama dan sanksi pidana paling lama 6 bulan penjara, bahkan di UU no 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh membeolehkan dibuatnya hukum pidana Islam.

Ketentuan Umum dalam RUU HMPA di pasal 1 huruf u yang dimaksud dengan Pengadilan adalah Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariah, dan dalam pasal 152 pada pokoknya menyebutkan bahwa yang memeriksa dan memutus terhadap tindak pidana dalam RUU HMPA adalah kewenangan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariah, Penjelasan RUU HMPA dalam konsideran huruf e disebutkan sebagai berikut : " mengingat penegakan hukum materiil di bidang perkawinan termasuk kewenangan yang berada dalam lingkungan peradilan agama, maka perkara pidana yang terjadi sebagai akibat pelanggaran Undang-undang ini harus diputus oleh pengadilan dalam lingkup peradilan agama setelah perkara tersebut dilimpahkan oleh Kejaksaan Negeri setempat"; RUU HMPA ini secara tidak langsung menambah kewenangan Peradilan agama yaitu memutus dan mengadili Pidana Islam,

Undang-Undang No. 3 tahun 2006 yang berisi 42 perubahan atas UU No. 7/1989 yang kemudian dirubah lagi dengan UU No. 50/2009 merupakan landasan kuat akan kokohnya kedudukan Peradilan Agama berikut dengan kewenangan yang dimilikinya. Pada awalnya, seperti yang diatur dalam UU No. 7/1989, Pengadilan Agama hanya berwenang menangani perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. UU No. 3/2006 yang merubah UU No. 7/1989 kemudian memperluas kewenangan Pengadilan Agama. Dalam pasal 49 kewenangan tersebut ditambah dengan penangan perkara zakat, infaq dan ekonomi syari'ah.

Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama dan Penjelasan pasal tersebut. Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama berbunyi, "Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b.waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah"

Penjelasan pasal 49 UU NO. 3/2006 merinci perkara apa saja yang dimaksud dengan "perkawinan", yang salah satunya juga menyebutkan tentang pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Dalam pasal yang sama, dijelaskan 11 kegiatan usaha yang termasuk dalam ekonomi syari'ah yakni bank syari'ah, lembaga keuangan mikro syari'ah, asuransi syari'ah, reasuransi syari'ah, reksadana syari'ah, obligasi syaria'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah, sekuritas syari'ah, pembiayaan syari'ah, pegadaian syari'ah, dana pensin lembaga keuangan syari'ah, dan bisnis syari'ah. Kewenangan baru lainnya dari UU No. 3/2006 ini adalah dalam hal penyelesaian sengketa hak milik antara sesama orang Islam dan pemberian itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun hijriyah, serta pemberian keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu sholat.

Kewenangan Peradilan Agama yang tercantum dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 pernah diajukan Uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi tentang Kewenangan Peradilan Agama agar mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili mengenai Pidana Islam, yang diajukan oleh Pemohon (Suryani, agama Islam; pekerjaan buruh; kewarganegaraan Indonesia; alamat Kp. Tubui Nomor 35 RT. 13/05 Desa/Kecamatan Waringinkurung, Kabupaten Serang, Provinsi Banten) yang mendapat register Perkara Nomor 20/PUU-VI/2008, dan permohonan Uji materiil Terhadap kewenagan Peradilan Agama Tersebut ditolak, dengan alasan sebagai berikut :

  • Mahkamah Konstitusi tidak berwenang menambah kompetensi absolut Peradilan Agama sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama, karena Mahkamah berdasarkan ketentuan Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 UU MK berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang dan menyatakan tidak mengikat secara hukum apabila telah terbukti undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945, baik dalam pengujian materil maupun formil. Mahkamah hanya dapat bertindak sebagai negative legislator dan sama sekali tidak berwenang untuk menambah isi peraturan atau menjadi positive legislator.
  • Pemohon mendalilkan pula bahwa hukum Islam dengan semua cabangnya termasuk hukum pidana (jinayah) harus diberlakukan di Indonesia karena Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan Pemohon juga mendalilkan bahwa setiap penganut agama yang sah di Indonesia dapat meminta kepada negara untuk memberlakukan hukum agamanya masing-masing. Terkait dengan hal tersebut, Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, "Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun". Ayat (2) berbunyi, "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu". Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa dalil Pemohon tersebut tidak sesuai dengan paham kenegaraan Indonesia mengenai hubungan antara negara dan agama. Indonesia bukan negara agama yang hanya didasarkan pada satu agama tertentu, namun Indonesia juga bukan negara sekuler yang sama sekali tidak memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada individu dan masyarakat. Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Dalam hubungannya dengan dasar falsafah Pancasila, hukum nasional harus menjamin keutuhan ideologi dan integrasi wilayah negara, serta membangun toleransi beragama yang berkeadilan dan berkeadaban. Dengan demikian, hukum nasional dapat menjadi faktor integrasi yang merupakan alat perekat dan pemersatu bangsa. Pelayanan negara kepada warga negara tidak didasarkan pada ukuran besar (mayoritas) dan kecil (minoritas) pemeluk agama, suku ataupun ras. Jika masalah pemberlakuan hukum Islam ini dikaitkan dengan sumber hukum, maka dapatlah dikatakan bahwa hukum Islam memang menjadi sumber hukum nasional, tetapi hukum Islam bukanlah satu-satunya sumber hukum nasional, sebab selain hukum Islam, hukum adat, dan hukum barat, serta sumber tradisi hukum lain pun menjadi sumber hukum nasional. Oleh sebab itu, hukum Islam dapat menjadi salah satu sumber materiil sebagai bahan peraturan perundangundangan formal. Hukum Islam sebagai sumber hukum dapat digunakan bersama-sama dengan sumber hukum lainnya, sehingga menjadi bahan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum nasional.

Undang-Undang tentang Peradilan Agama juga mengalami perubahan yaitu keluarnya Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 memuat perubahan/tambahan baru diantaranya sebagai berikut:

  • Pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Agama
  • Hakim Adhoc di Peradilan Agama
  • Pengawasan Internal oleh MA dan eksternal oleh KY
  • Putusan bisa dijadikan dasar mutasi
  • Seleksi pengangkatan hakim dilakukan oleh MA dan KY
  • Pemberhentian hakim atas usulan MA dan atau KY via KMA
  • Tunjangan hakim sbg pejabat negara
  • Usia pensiun hakim 65 bagi PA dan 67 bagi PTA. Panitera/PP, 60 PA dan 62 PTA
  • Pos Bantuan Hukum di setiap Pengadilan Agama
  • Jaminan akses masyarakat akan informasi pengadilan, dan
  • Ancaman pemberhentian tidak hormat bagi penarik pungli.

Pasal 1 angka 8 UU no 50 tahun 2009 yang dimaksud dengan Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.

    Kewenangan Peradilan Agama berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo UU no 50 tahun 2009 tentang peradilan agama tidak ada yang menyinggung mengenai kewenangan peradilan agama untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana islam (jinayah), kewenangan Peradilan Agama mengenai tindak pidana Islam (jinayah) dikenalkan dalam RUU HMPA sebagaimana tersebut diatas;

    Ketentuan pidana yang terncatum dalam RUU HMPA yang mana sebelumnya juga tercantum dalam Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974. didalam PP tersebut ada ancaman pidana mengenai orang yang menikah tanpa diberiatukan ke pada pegawai pencatat nikah, dan poligami tanpa ijin pengadilan serta tentang kewajiban dari Pegawai pencatat Nikah yang ancamannya denda Rp 7.500 dan untuk Pegawai pencatat Nikah ada ancaman pidana kurungan 3 (tiga ) bulan selain pidana denda;

    Dalam RUU HMPA tersebut, ketika dilihat tindak pidananya merupakan tindak pidana biasa sebagaimana dalam perkara tindak pidana dalam ruang lingkup pidana umum. Unsur syariah yang ada tidak nampak begitu jelas, sehingga alangkah baiknya apabila RUU HMPA tersebut disahkan tentu perlu banyak sosialisasi ke pelbagai pihak, karena dalam tindak pidana yang ada dalam RUU HMPA ada ketersinggungan dengan tindak pidana yang masuk dalam ruang lingkup peradilan umum, yang mana bisa akan terjadi perselisihan atau sengketa kewenangan, alangkah baiknya jika memang pengadilan agama hendak memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana hukum islam (jinayah) hendaknya di tuangkan sendiri dalam UU tersendiri, yang mengatur tentang Pengadilan Hukum Islam;

Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004Jo UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan, "Pengadilan Khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur dengan undang-undang tersendiri." Di dalam praktik kita dapatkan adanya "Pengadilan Khusus" yang dibentuk oleh undang-undang tersendiri, seperti Pengadilan HAM Ad Hoc (yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia). Di samping itu, didapatkan juga adanya "Pengadilan Khusus" yang dibentuk oleh undang-undang yang mengatur masalah lain, seperti Pengadilan Niaga yang dibentuk oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 yang merupakan Undang-Undang tentang Kepailitan dan Pengadilan Hubungan Industrial yang dibentuk oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo UU no 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama
ada ketentuan bahwa dapat dibentuknya Peradilan Khusus di Lingkungan Peradilan agama. Peradilan agama yang menghendaki terbentuknya Peradilan pidana Islam, seyogyanya di bentuk dengan undang-undang sendiri, sebagaimana rekomendasi dari Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 JO UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, jangan sampai pembentukan peradilan pidana islam (jinayah) mengikuti atau mendompleng RUU HMPA. Belajar dari keberadaan Peradilan Tipikor yang beradasar pasal 53 UU no 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah di lakukan permohonan Uji materiil dan diterima oleh MK sehingga pembentukan Peradilan Tipikor harus di bentuk berdasarkan UU sendiri.

    Pengesahan RUU HMPA yang menghadirkan kewenangan Pengadilan Agama untuk memeriksa dan mengadili perkara Tindak Pidana Islam/Syariah (jinayah) maka sebagai warga Pengadilan Agama tentunya banyak persiapan-persiapan yang harus dilakukan. Selain sosialisai kepada pihak-pihak yang berkepentingan seperti Polisi, kejaksaan dan juga masyarakat, pihak pengadilan agama tentunya harus mengadakan pelatihan-pelatihan berkaitan hakim yang akan menangani perkara-perkara tersebut. Selain hal tersebut diatas tentunya perlu perbaikan sarana dan prasarana yang menunjang;

Pada akhirnya pengesahan RUU HMPA ini tergantung kepada politik hukum pemerintah indonesia, Yang seharusnya tidak lepas dari keberadaan ketentuan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu "Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan,"


 

PENUTUP

    Pengesahan RUU HMPA seharusnya memperhatikan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat, jangan sampai keberadaannya mendapatkan resistensi dari masyarakat;

Pengesahan RUU HMPA menjadi Undang-Undang membawa perubahan mengenai hukum perkawinan, salah satunya mengenai larangan pernikahan siri. Dengan apanya pelarangan tersebut, tentunya perlu adanya perubahan dalam pencatatan pernikahan, yang mana selama ini masih menjadi beban masyarakat, p

RUU HMPA juga memberikan kewenangan baru kepada Peradilan Agama untuk memeriksa dan mengadili tindak pidana islam/syariah (jinayah). Pengadilan agama selain mempersiapan sumber daya manusia tentunya juga harus mempersiapakan sarana dan prasarana yang ada, dan yang tidak kalah pentingnya adalah perlu sosialilasi kepada masyarkat dan koordinasi dengan aparat penegak hukum yang lainnya;


 

    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar