HUKUM UNTUK SUATU KETERTIBAN BERMASYARAKAT
PENDAHULUAN.
Runtuhnya Rezim Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya penguasa Orde Baru yaitu Soeharto dari tahtanya. Setelah ± 3 dekade berkuasa, memberikan harapan akan tumbuhnya demokrasi dan reformasi di segala bidang ketatanegaraan dan aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Tuntutan akan berfungsinya Hukum sebagai komando dengan mengembalikan lembaga Peradilan sesuai dengan fungsinya menjadi hal yang aktual dan diperbincangkan di semua tatanan masyarakat setelah selama ± 30 tahun. Kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang seharusnya mandiri terlepas dari segala pengaruh kekuasaan lain, kenyataannya di lingkupi oleh kekuasaan Eksekutif bahkan tidak lebih hanya sebagai alat untuk mempertahankan dari rezim yang berkuasa.
Pada masa ini (Orba) Kekuasaan Kehakiman sengaja dimarjinalkan, dibuat sedemikian rupa agar lemah, mulai dari administrasi keuangan maupun rekruitmennya. Dalam keadaan yang serba lemah tersebut, apakah mungkin dunia peradilan akan mampu mengemban tugas sebagai lembaga yang punya otoriter dalam menegakkan hukum secara mandiri, guna mewujudkan tujuan hukum itu sendiri yakni keadilan dan kepastian hukum.
Pada saat ini keadaan demokrasi dan reformasi sudah begitu baik, ditandai dengan banyaknya perubahan-perubahan mendasar, baik di bidang ketatanegaraan maupun bidang-bidang lain yang berkaitan langsung dengan kehidupan sosial masyarakat, namun apakah perbaikan dan perubahan ini sudah sepenuhnya menyentuh dunia Peradilan kita, sehingga apa yang menjadi tujuan hukum dan yang didambakan masyarakat yakni keadilan dan kepastian hukum dapat diwujudkan dan dirasakan oleh masyarakat.
Dalam era globalisasi yang diikuti kemajuan Iptek, yang semakin canggih, batas antara benua maupun negara satu dengan lainnya hampir tidak ada, apa yang terjadi di belahan dunia maupun negara lain seketika dapat diketahui dan dilihat oleh belahan dunia atau negara lain.
Di suatu pihak kemajuan teknologi telah membawa dampak positif bagi kemanfaatan kehidupan manusia, dengan kemampuan teknologi tersebut, telah mampu mengurangi, menekan biaya dan tenaga manusia yang signifikan serta mampu memperbaiki sistem kerja di setiap segi kehidupan manusia, seperti perangkat komputer. Di lain pihak hal ini menimbulkan dampak negatif, sebab kemajuan teknologi dan Iptek tersebut apabila digunakan secara negatif dapat menimbulkan kejahatan yang tidak mudah untuk ditangani secara manual, seperti kejahatan perbankan dan lain-lain.
HUKUM MENGATUR PERGAULAN HIDUP SECARA DAMAI
Hukum menghendaki perdamaian, pikiran itu diucapkan dalam salah satu prolog dari hukum rakyat Franta Satis Lex Salica (kira-kira 500 tahun sebelum Masehi), zaman dahulu sangat berpengaruh dalam hidup bangsa-bangsa Germania.
Apa yang disebut tertib hukum adalah disebut damai (Vrede). Adanya kejahatan berarti terjadi suatu pelanggaran, pencemaran (Vredebreuk). Untuk mempertahankan agar terciptanya perdamaian diantara berbagai kepentingan-kepentingan manusia diperlukan suatu hukum, karena jika dilihat kepentingan manusia pribadi dan manusia secara kelompok selalu bertentangan sama lainnya, jika tidak ada aturan yang mengatur akan terjadi suatu pertikaian, jadi akan berlaku hukum rimba, siapa yang kuat dialah yang menang. Di sinilah hukum diperlukan untuk sebagai perantara untuk mengatur kepentingan manusia itu agar tercapai perdamaian.
Untuk menjamin dan mempertahankan perdamaian dengan menimbang kepentingan yang bertentangan dengan teliti dan mengadakan keseimbangan diantaranya, karena hukum dapat mencapai tujuan jika ia menuju suatu peraturan yang adil.
Banyak orang mendefinisikan kata adil ini dan belum ada kesepahaman dari kata adil ini, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adil berarti tidak berat sebelah, tidak memihak / berpihak atau berpegang kepada yang benar, sepatutnya tidak sewenang-wenang.
Adil yang dalam bahasa Inggris beradal dari kata Justice, dalam bahasa Perancis Juste, bahasa latin Justus, berarti "Having a basis in or conforming to fact or reason" (mempunyai dasar dalam fakta atau sesuai dengan fakta atau akal) atau "conforming to a standard of correctness" (cocok dengan standar tentang suatu yang batal) atau "acting or doing in conformity with what is morally up right or good"(berbuat atau keadaan sesuai dengan apa yang dipandang baik atau bagus secara moral). Jadi adil adalah sesuatu yang sesuai dengan fakta atau logika dan sesuatu yang sesuai dengan norma baik dan buruk.
Hans Kelsen mengatakan bahwa keadilan adalah sebuah kualitas tatanan masyarakat yang mengatur hubungan timbal balik antar manusia, yang mungkin diwujudkan, tetapi tidak mesti selalu terwujud. Keadilan adalah sebuah norma manusia, bila tingkah lakunya sesuai dengan norma-norrma sebuah tatanan masyarakat yang dipandang adil. Masih menurut Kelsen bila tatanan masyarakat tersebut mengatur tingkah laku anggota-anggotanya dengan cara yang dapat memuaskan semua orang baru dikatakan adil, keadilan adalah merupakan kebahagiaan sosial.
Joremy Bentham, senada dengan Hans Kelsen, bahwa keadilan adalah kebahagiaan terbesar mungkin dari sebesar mungkin individual (the great possible happiness of the greatest possible number of individuals). Jadi ukuran baik-buruknya suatu perbuatan manusia tergantung kepada apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan atau tidak.
Aristoteles mengenalkan 2 macam keadilan, yaitu keadilan distributif dan keadilan komutatif, keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut jasanya, ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan tetapi kesebandingan, keadilan kommulatif adalah keadilan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengikut jasa-jasa perseorangan.
Dari gambaran di atas hukum untuk mengatur suatu ketertiban adalah hukum itu harus adil, apakah hal tersebut sudah cukup?. Hukum yang semata-mata menghendaki suatu keadilan sering disebut dengan teori etis, bahwa teori etis hukum, semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran ethis mengenai apa yang adil dan yang tidak adil. Hukum yang hanya melebihkan pada keadilan hukum, akan berat sebelah karena tidak memperhatikan keadaan yang sebenarnya, bahwa hukum menetapkan peraturan yang bersifat umum untuk orang-orang dalam pergaulan hidupnya.
Jika hukum semata-mata hanya menghendaki suatu keadilan berarti hukum mempunyai tujuan memberi tiap-tiap orang apa yang patut diterima, maka ia tidak dapat membentuk peraturan-peraturan umum.
Jadi syarat bahwa hukum agar dapat menciptakan suatu ketertiban, hukum itu harus bersih dengan peraturan umum, tidak adanya peraturan umum berarti ketidakpastian. Adanya apa itu adil atau tidak adil dari ketidakpastian inilah akan menimbulkan suatu perselisihan antar manusia.
Hukum harus menentukan peraturan umum, harus menyamaratakan, padahal keadilan melarang menyamaratakan, keadilan menuntut supaya tiap-tiap perkara harus ditimbang tersendiri.
Bagir Manan menyatakan bahwa kepastian tidak sama dengan keadilan, bahkan mungkin kepastian dapat saja bertolak belakang dengan keadilan, tetapi tanpa kepastian, pasti tidak akan ada keadilan. Keadilan dalam ketidakpastian akan menjadi sangat subjektif karena sepenuhnya tergantung pada yang menentukan atau mengendalikan kepastian, keadilan semacam ini mempunyai potensi melahirkan ketidak adilan.
Keberadaan hukum yang bersifat umum untuk menjamin kepastian hukum belum tentu berjalan dengan mulus, karena adanya ketidak sempurnaan hukum, karena belum tentu mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat, oleh karena itu, disinilah peran hakim dalam menerapkan hukum secara konkrit, menafsirkan peraturan-peraturan dapat mempergunakan tafsiran bebas untuk menghilangkan atau mengurangkan ketidakadilan, tetapi memperluas penafsiran hakim akan mengurangi kepastian hukum, karena bisa saja penafsiran tadi sifatnya subjektif.
Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa dalam mengambil keputusan, Hakim harus melihat tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, Terkadang hukum terpaksa mengorbankan keadilan sekedarnya untuk suatu kemanfaatan. Hukum terpaksa mempunyai sifat kompromi, bahkan terdapat sejumlah besar peraturan-peraturan hukum yang sama sekali tidak mewujudkan keadilan, melainkan semata-mata didasarkan pada suatu kemanfaatan.
Bahwa hukum diharapkan memiliki suatu manfaat (faedah) untuk masyarakat yang luas sebagaimana yang dianut oleh para tokoh aliran ulilitarisme, keadilan hukum dianggap jika mempunyai manfaat yang sebesar-besarnya.
Jadi tujuan hukum akan menciptakan suatu ketertiban apabila hukum itu sendiri mengandung suatu rasa keadilan, dan adanya suatu kepastian di dalamnya dan juga mempunyai manfaat yang sangat luas terhadap masyarakat.
UPAYA
PENEGAKAN HUKUM
Dalam mengupayakan agar hukum bisa menciptakan suatu ketertiban dalam masyarakat, dapat dimulai dari beberapa factor, yaitu antara lain seperti yang tersebut dibawah ini :
Pertama ; aturan hukum yang akan ditegakkan. Penegakan hukum yang adil atau berkeadilan akan tercapai apabila hukum yang akan ditegakkan – demikian pula hukum yang mengatur cara-cara penegakan hukum – adalah benar dan adil. Suatu aturan hukum akan benar dan adil apabila dibuat dengan cara-cara yang benar dan materi muatannya sesuai dengan kesadaran hukum dan memberi sebesar-besarnya manfaat bagi kepentingan orang perorangan dan masyarakat banyak pada umumnya. Suatu aturan hukum akan tidak benar dan tidak adil apabila hanya dibuat untuk kepentingan kekuasaan belaka dan mengandung kesewenang-wenangan. Tetapi perlu juga mendapat perhatian, bahwa suatu hukum dapat menjadi tidak benar dan tidak adil, apabila mempunyai jarak begitu jauh dengan kesadaran dan kenyataan sosial yang berlaku sehingga rakyat merasa asing atau terasing dari aturan hukum tersebut. Hal ini dapat terjadi karena hukum yang ada sudah sangat ketinggalan, atau karena terlalu jauh berada di depan sehingga tidak dapat terjangkau oleh realitas sosial yang ada. Selanjutnya, hukum dapat pula tidak benar dan tidak adil apabila pembuatannya tidak mengindahkan tata cara pembuatan peraturan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur), karena akan menimbulkan keadaan seperti kerancuan dalam penerapan atau ketidakpastian hukum.
Kedua ; Pelaku Penegakan Hukum. Pelaku penegakan hukum dapatlah disebut sebagai kunci utama penegakan hukum yang adil dan berkeadilan. Di tangan pelaku penegakan hukum, aturan hukum yang bersifat abstrak menjadi konkrit, berlaku terhadap pencari hukum atau keadilan. Ada berbagai syarat yang harus dipenuhi agar pelaku dapat menegakkan hukum secara adil atau berkeadilan.
(1) Perlakuan terhadap hukum yang akan ditegakkan. Ada tiga pilihan peranan yang dilakukan pelaku penegakan hukum dalam penegakan hukum.
a. Pelaku penegakan hukum sekedar sebagai "la bouche de la loi" atau "spreekbuis van de wet". Dalam hal aturan hukum sudah jelas, pelaku penegakan hukum hanya bertindak sebagai corong peraturan, kecuali apabila penerapan itu akan menimbulkan ketidak adilan, bertentangan kesusilaan, atau bertentangan dengan suatu kepentingan umum.
b. Pelaku penegakan hukum berlaku sebagai penterjemah (interpreter) suatu aturan hukum agar suatu aturan hukum dapat menjadi instrumen keadilan. Hal ini dilakukan karena aturan hukum yang ada tidak sempurna baik bahasa atau objek yang diaturnya tidak lengkap.
c. Pelaku penegakan hukum menjadi pencipta hukum (rechtsschepping), dalam hal hukum yang ada tidak cukup mengatur atau didapati kekosongan hukum.
(2) Memperhatikan kepentingan atau kebutuhan masyarakat baik kebutuhan nyata maupun proyeksi kebutuhan di mesa depan. Hukum adalah instrument sosial untuk menjaga dan membangun masyarakat. Hukum tidak boleh mengandung kesenjangan dengan kenyataan dan kecenderungan yang hidup dalam masyarakat.
Penegakan hukum yang tidak mengindahkan berbagai kenyataan, akan dirasakan sebagai sesuatu yang asing bahkan mungkin menekan masyarakat adalah suatu bentuk penegakan hukum yang tidak adil atau tidak berkeadilan.
Ketiga : Lingkungan sosial sebagai tempat hukum berlaku. Telah diutarakan "situation gebundenheif". Keadaan itu menentukan. Hukum baik dalam pembentukan maupun penegakannya sangat dipengaruhi oleh kenyataan-kenyataan baik sosial, ekonomi, politik maupun budaya. Meskipun dalam situasi tertentu, diakui hukum dapat berperan sebagai sarana pembaharuan, tetapi dalam banyak hal hukum adalah cermin masyarakat. Telah dikemukakan, tekanan publik terhadap penegakan hukum dapat mempengaruhi putusan penegak hukum. Begitu pula kepentingan-kepentingan tertentu seperti kepentingan ekonomi dan politik yang dominan dapat menentukan wujud penegakan hukum. Oleh sebab itu perlu diciptakan berbagai persyaratan sosial yang kondusif agar penegakan hukum dapat dilakukan secara benar dan adil. Persyaratan itu antara lain tumbuhnya prinsip egalitarian, keterbukaan, untuk menciptakan berbagai keseimbangan dalam perikehidupan masyarakat. Dalam berbagai perbedaan yang begitu tajam baik sosial, ekonomi, politik dan lain-lain, akan dialami kesulitan menciptakan sistem penegakan hukum yang benar dan adil, karena hukum akan berpihak pada kekuatan-kekuatan dominan yang mungkin tidak berpihak pada kebenaran dan keadilan. Hukum yang benar dan adil hanya dapat berperan dalam tatanan yang berkeseimbangan dan tidak dalam tananan ektrimitas tertentu.
KESIMPULAN
Hukum yang ditujukan untuk menciptakan suatu ketertiban dalam masyarakat akan terwujud apabila hukum itu sendiri mencerminkan suatu rasa keadilan dalam masyarakat tersebut, dan juga bahwa hukum itu menjamin suatu kepastian hak-hak dari masyarakat tersebut. Satu hal yang jangan melupakan bahwa hukum juga harus memperhatikan suatu manfaat terhadap masyarakat.
Dalam menegakan hukum ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu : isi dari aturan tersebut, pelaku penegakan hukum serta lingkungan tempat berlakunya hukum tersebut, ketiga fakyor itu saling berkaitan satu sama lain, macetnya di salah satu bagian akan menghambat kinerja dari hukum tersebut;
DAFTAR PUSTAKA
A. Mukti Fajar, Teori Hukum, Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 Surabaya,
Rifyal Ka'Bah, Legal justice, Moral Justice dan Sosial Justice, Kode Etik Hakim Mahkamah Agung RI, 2004
Bagir Manan, Penegakan Hukum Yang Berkeadilan, Varia Peradilan edisi Bulan Nopember 2005,
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Jogjakarta, 1994
Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Hal 22-23, Pradnya Paramitha, Cetakaan 23, 1986,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar