Rabu, 18 Agustus 2010

UMAT NABI MUHAMMAD


Kriteria Umat Nabi Muhammad SAW
sebagai umat islam, kita akan selalu mengaku umat Nabi Muhammad SAW. namun pernahkan kita bertanya: "apakah Nabi Muhammad SAW mengakui kita juga adalah umatnya?"
Alhamdulillah, Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya telah memberikan kriteria, siapa yang menjadi umatnya. Kriteria itu sebagai berikut :


  1. TEGAS TERHADAP ORANG KAFIR.
Sbg seorang muslim haruslah tegas terhadap orang kafir, sesuai surat al kafirun ayat 6, kita terkadang lebih sering mengikuti budaya orang2 kafir. Maka marilah kita memulai bangga dengan budaya islam, dan tegas thd budaya orang kafir.

2. CINTA DAN KASIH SAYANG SESAMA UMAT.
Sebagai sesama muslim kita adalah saudara, derita seorang muslim adalah derita kita juga. Termasuk kepada umat agama lain kita juga harus menghormati.

3. SHOLAT.
ALLAH memerintahkan kita untuk "Mendirikan sholat" bukan sebatas "mengerjakan sholat". Teruslah mencoba dan berusaha untuk sholat dengan khusyuk.

4.BEKAS SHOLAT.
bahwa sholat seharusnya dapat menjadikan manusia lebih baik. Berbuat kebaikan dan mencegah kemunkaran. Banyak faedah dan dampak positif, jika kita mau memahami dan memdalami sholat, contohny sholat mendidik kita untuk tertib.krn salah satu rukun sholat adalah tertib. Sholat mengajarkan kita kesabaran, krn dlm sholat 5 waktu, rokaatny beda2, dan kita hrs sabar dlm mengerjakan

5. IKHLAS MENERIMA KETENTUAN ALLAH
Bahwa baik atau buruk takdir Allah kita harus terima dengan ikhlas, krn apa yg Allah takdirkan pasti yg terbaik untuk kita

 
(di kutip dari ceramah Ust. Fahmi S.Ag, yg dilakukan di kantorPengadilan Negeri Sengeti pada tanggal 06 februari 2009)
Top of Form

 

Bottom of Form

Sabtu, 14 Agustus 2010

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

Oleh : Wasis Priyanto, SH, MH 

Ditulis pada saat Bertugas di Pengadilan Negeri Sengeti

Kab Muaro Jambi

Pengertian Perdagangan Orang

Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21  Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang bahwa yang dimaksud dengan
Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,  pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Pengertian perdagangan orang dalam undang-undang no 21 tahun 2007 ternyata ada kemiripan dengan definisi dari Protokol Palermo. Protokol Palermo adalah Protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Mencegah, Menekan, dan Menghukum Perdagangan Manusia, Khususnya pada Wanita dan Anak-Anak, Ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 15 Nopember 2000 dan mulai di diberlakukan pada tanggal 25 Desember 2003.

Tujuan-tujuan dari Protokol Palermo sebagaimana dalam pasal 2 adalah sebagai berikut :

  1. Untuk mencegah dan memerangi perdagangan manusia, dengan menaruh perhatian khusus terhadap perempuan dan anak-anak;
  2. Untuk melindungi dan membantu korban-korban perdagangan manusia, dengan menghormati secara penuh hak asasi mereka;
  3. Untuk pemajuan kerjasama diantara Negara-negara Pihak dalam rangka emenuhi tujuan-tujuan tersebut.

Pasal 3 (ayat a) Prorokol Palermo, mendefinisikan Perdagangan manusia" haruslah berarti "perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan atau menerima individu-individu, dengan cara mengancam atau penggunaan paksaan atau bentuk-bentuk kekerasan lainnya, penculikan, penipuan, kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan atau pemanfaatan sebuah posisi yang rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan ijin dari seseorang untuk memeiliki kontrol terhadap orang lain, dengan tujuan-tujuan untuk mengeksploitasi. Eksploitasi haruslah mencakup, pada tingkat paling minimum, eksploitasi prostitusi terhadap seseorang atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan, penghambaan atau penghilangan organ;"

Dari pengertian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21  Tahun 2007 tersebut dapat diperoleh beberapa unsur mengenai tindak Pidana Perdangangan Orang yaitu sebagai berikut :

  1. Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,  pemindahan, atau penerimaan seseorang;

    Perbuatan-perbuatan sebagaimana tersebut diatas, UU secara jelas telah memberikan maksud dari perbutaan itu, yaitu diantaranya :

  • Perekrutan adalah tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa, atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitasnya. (vide pasal 1 angka 9 UU no 21 Tahun 2007)
  • Pengiriman adalah tindakan memberangkatkan atau melabuhkan seseorang dari satu tempat ke tempat lain.
    (vide pasal 1 angka 10 UU no 21 Tahun 2007)
  1. Dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut;

    Perbuatan-perbuatan sebagaimana tersebut diatas, UU secara jelas telah memberikan maksud dari perbutaan itu, yaitu diantaranya :

  • Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum, dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang. (vide pasal 1 angka 11 UU no 21 Tahun 2007)
  • Ancaman Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan atau tanpa menggunakan sarana yang menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki seseorang. (vide pasal 1 angka 12 UU no 21 Tahun 2007)
  • Penjeratan Utang adalah perbuatan menempatkan orang dalam status atau keadaan menjaminkan atau terpaksa menjaminkan dirinya atau keluarganya atau orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, atau jasa pribadinya sebagai bentuk pelunasan utang. (vide pasal 1 angka 15 UU no 21 Tahun 2007)
  1. Baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara;

    Bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan tindak pidana trans nasional yang berarti sudah meliputi wilayah antar negara.

  2. untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi;
  • Eksploitasi adalah  tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan,  pemerasan, pemanfaatan fisik,  seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan  tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil. (vide pasal 1 angka 7 UU no 21 Tahun 2007)
  • Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan. (vide pasal 1 angka 8 UU no 21 Tahun 2007)

Subyek Hukum Tindak Pidana perdagangan Orang :

Dalam kententuan pidannya yang diancap dalam tindak pidana menggunakan kata setiap orang, UU no 21 tahun 2007 sendiri sudah menjelsakan yang dimaksud Setiap
Orang
adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang (vide pasal 1 angka 4). Dari ketentuan pasal tersebut yang menjadi subyek hukum ada dua yaitu :

  1. Orang perseorangan
  2. Korporasi

    Yang dimaksud Korporasi dalam undang-undang ini adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. . (vide pasal 1 angka 6 UU no 21 Tahun 2007)

Pengelompokan Tindak pidana Perdangan Orang.

Dalam UU no 21 tahun 2007 ada tindak pidana yang dikelompokan menjadi 2 hal yaitu :

  1. Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu mulai Pasal 2 s/d pasal 9;
  2. Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu mulai pasal 19 s/d pasal 24;

Berkaitan dengan tindak pidana tersebut, lebih lengkapnya sebagaimana tersebut dibawah ini :

Pasal 2

(1) Setiap    orang  yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,  pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00
(seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka
pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 
 

Pasal 3

Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00
(seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

 
 

Pasal 4

Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00
(seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

 
 

Pasal 5

Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00
(seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

 
 

Pasal 6

Setiap orang yang melakukan  pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00
(seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

 
 

Pasal 7

(1)       Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2),
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat,
penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan,
atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

(2)   Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

 
 

Pasal 8

(1)       Setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana di maksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5,  dan Pasal 6 maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

(2)  Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenakan pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.

(3) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan sekaligus dalam  amar putusan pengadilan.

 
 

Pasal 9

Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya  melakukan tindak pidana perdagangan orang,  dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00
(empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).

 
 

Pasal 10

Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.


 

Bandingkan dengan tindak pidana biasa, Dalam KUHP Sanksi untuk percobaan berbeda dengan delik yang sempurna. sanksi maksimum pidana yang dijatuhkan terhadap kejahatan yang bersangkutan dikurangi 1/3. Tetapi dalam tindak pidana perdagangan orang sanskinya disamakan dengan pelaku delik sempurna atau selesai.


 

Pasal 11

Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

 
 

Pasal 12

Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul  lainnya dengan korban
tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang
untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

 
 

Pasal 13

(1) Tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak   pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

(2) Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap  korporasi dan/atau pengurusnya.

 
 

Pasal 14

Dalam hal panggilan terhadap korporasi, maka pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurus.

 
 

Pasal 15

(1) Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara  dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:

a. pencabutan izin usaha;

b. perampasan kekayaan hasil tindak pidana;

c. pencabutan status badan hukum;

d. pemecatan pengurus; dan/atau

e. pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama.

 
 

Pasal 16

Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok yang terorganisasi, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok yang terorganisasi tersebut dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiga).

 
 

Pasal 17

Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).

 
 

 
 

Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Pasal 19

Setiap orang yang memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00
(empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).

 
 

Pasal 20

Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00
(empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).

 
 

Pasal 21

(1)   Setiap orang yang melakukan penyerangan fisik terhadap saksi atau petugas di persidangan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00
(empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan saksi atau petugas di persidangan luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,00
(delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan saksi atau petugas di persidangan mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00
(seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

 
 

Pasal 22

Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00
(empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00  (dua ratus juta rupiah).

 
 

Pasal 23

Setiap orang yang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan pidana dengan:

a.   memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku;

b.   menyediakan tempat tinggal bagi pelaku;

c.    menyembunyikan pelaku; atau

d.   menyembunyikan informasi keberadaan  pelaku,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00
(empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

 
 

Pasal 24

Setiap orang  yang memberitahukan identitas saksi atau korban padahal kepadanya telah diberitahukan, bahwa identitas saksi atau korban tersebut harus dirahasiakan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00
(seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).

 
 

Pasal 25

Jika terpidana tidak mampu membayar pidana denda, maka terpidana dapat dijatuhi pidana pengganti  kurungan paling lama 1 (satu) tahun.

 
 

Bandingkan dengan ketentuan hukuman denda diatur dalam pasal 30 ayat (2) dan (3) KUHP, yang pada prinsipnya menentukan jika dijatuhkan hukuman denda dan denda itu tidak dibayar maka diganti dengan hukuman kurungan. dan lamanya hukuman kurungan pengganti hukuman denda sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya enam bulan.

 
 

 
 

Proses Penyidikan, Penuntutan, Dan Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan Tindak Pidana Perdagangan Orang

  1. Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
  2. Persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana perdagangan orang.
  3. Pelaku tindak pidana perdagangan orang kehilangan hak tagihnya atas utang atau perjanjian lainnya terhadap korban, jika utang atau perjanjian lainnya tersebut digunakan untuk mengeksploitasi korban.
  1. Korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana
  2. Dalam perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang, untuk menjerat pelakunya, selain alat bukti yang ditentukan dalam KUHAP ada alat bukti lain yang dapat dipergunakan untuk membuktikan perbuatan pelaku, yaitu:
    1. Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
    2. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada:

      1)     tulisan, suara, atau gambar;

      2)     peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau

      3)     huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

  3. Tidak memerlukan banyak saksi dalam perkara Perdagangan Orang, karena Keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya.
  1. Penyidik diberi kewenangan untuk menyadap telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana perdagangan orang. Tindakan penyadapan hanya dilakukan atas izin tertulis ketua pengadilan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
  2.  Penyidik, Penuntut Umum, atau hakim
    berwenang memerintahkan kepada penyedia jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana perdagangan orang.
  3. Pelapor mempunyai hak untuk dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor dalam tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan,

    Jika pelapor meminta dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal-hal lain, kewajiban merahasiakan identitas tersebut diberitahukan kepada saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana perdagangan orang sebelum pemeriksaan oleh pejabat yang berwenang yang melakukan pemeriksaan.

  4. Jika saksi dan/atau korban tidak dapat dihadirkan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, keterangan saksi dapat diberikan secara jarak jauh melalui alat komunikasi audio visual.

Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang. (vide pasal 1 angka 3 UU no 21 Tahun 2007)

  1. Hak-hak Saksi/korban dalam perkara tindak pidana Perdagangan orang yaitu :
  • Saksi dan/atau korban berhak didampingi oleh advokat dan/atau pendamping lainnya yang dibutuhkan proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan,. Biasanya yang didampingi Penasihat Hukum itu adalah Terdakwa,
  • Korban berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya sejak proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan,

    Informasi itu tentang perkembangan kasus dapat berupa pemberian salinan berita acara setiap tahap pemeriksaan.

  • Saksi dan/atau korban berhak meminta kepada hakim ketua sidang untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa.

    Dalam hal saksi dan/atau korban akan memberikan keterangan tanpa kehadiran terdakwa, hakim ketua sidang memerintahkan terdakwa untuk keluar ruang sidang.

    Walaupun Terdakwa tidak dalam ruang persidangan, namun semua keterangan yang diberikan saksi dan/atau korban pada waktu terdakwa berada di luar ruang sidang pengadilan tetap diberitahukan kepada terdakwa, baru Pemeriksaan terdakwa dapat dilanjutkan

  • Saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang berhak memperoleh kerahasiaan identitas.
  • Hak
    memperoleh kerahasiaan identitas diberikan juga kepada keluarga saksi dan/atau korban sampai dengan derajat kedua, apabila keluarga saksi dan/atau korban  mendapat ancaman baik fisik maupun psikis dari orang lain yang berkenaan dengan keterangan saksi dan/atau korban.
  • Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi.

    Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.

    Restitusi tersebut berupa ganti kerugian atas:

  1. kehilangan kekayaan atau penghasilan;
  2. penderitaan;
  3. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau
  4. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.

Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang dan dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama. Pemberian restitusi dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus. Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan. 

Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan kepada ketua pengadilan yang memutuskan perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi tersebut dan ketua pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut di
papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan dan Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi disampaikan oleh pengadilan kepada korban atau ahli warisnya.

Dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi sampai melampaui batas waktu, korban atau ahli warisnya  memberitahukan hal tersebut kepada pengadilan, dan Pengadilan memberikan surat peringatan secara tertulis kepada pemberi restitusi, untuk segera memenuhi kewajiban memberikan restitusi kepada korban atau ahli warisnya.

Jika surat peringatan tidak dilaksanakan dalam waktu 14 (empat belas) hari, pengadilan memerintahkan  penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelang harta tersebut untuk pembayaran restitusi. Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun.

  • Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang.

    Yang dimaksud Rehabilitasi adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik, psikis, dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.

    Hak-hak tersebut diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja sosial setelah korban melaporkan kasus yang dialaminya atau pihak lain melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.  Permohonan diajukan
    kepada pemerintah melalui menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah.

    Menteri atau instansi yang menangani rehabilitasi wajib memberikan rehabilitasi  kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diajukan permohonan.

    Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma..


     

  1. Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap saksi dan/atau korban anak dilakukan dengan memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak dengan tidak memakai toga atau pakaian dinas.

Yang dimaksud Anak dalam undang-undang ini adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. vide pasal 1 angka 5 UU no 21 Tahun 2007)

  1. Pemeriksaan Di persidangan Terhadap perkara Tindak pidana Perdagangan Orang, yaitu perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
    1. Pemeriksaan saksi dan/atau korban anak dilakukan dalam sidang tertutup. Pemeriksaan saksi dan/atau korban anak wajib didampingi orang tua, wali, orang tua asuh, advokat, atau pendamping lainnya.
    2. Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa.
    3. Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak, atas persetujuan hakim, dapat dilakukan di luar sidang pengadilan dengan perekaman tetapi dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang.
  2. Pemeriksaan in Absentia.
    1. Apabila Terdakwa telah dipanggil secara sah dan patutdan Terdakwa tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadiran terdakwa.
    2. Jika terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai alat bukti yang diberikan dengan kehadiran terdakwa.
    3. Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada keluarga atau  kuasanya.

     Perlindungan Saksi Dan Korban

    1. Ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam perkara tindak pidana perdagangan orang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang tindak pidana perdagangan orang;
    2. Untuk melindungi saksi dan/atau korban, di setiap provinsi dan kabupaten/kota wajib dibentuk ruang pelayanan khusus pada kantor kepolisian setempat guna melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang.

      Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan ruang pelayanan khusus dan tata cara pemeriksaan saksi dan/atau korban diatur dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

    3. Untuk melindungi saksi dan/atau korban, pada setiap kabupaten/kota dapat dibentuk pusat pelayanan terpadu bagi saksi atau korban tindak pidana perdagangan orang.

      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 

    4. Korban yang mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan dirinya akibat tindak pidana perdagangan orang sehingga memerlukan pertolongan segera, maka menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah wajib memberikan pertolongan pertama paling lambat 7 (tujuh) hari setelah permohonan diajukan.
    5. Korban yang berada di luar negeri memerlukan perlindungan hukum akibat tindak pidana perdagangan orang, maka Pemerintah Republik Indonesia melalui perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan korban, dan mengusahakan untuk memulangkan korban ke Indonesia atas biaya negara.

      Jika korban adalah warga negara asing yang berada di Indonesia, maka Pemerintah Republik Indonesia mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke negara asalnya melalui  koordinasi dengan perwakilannya di Indonesia.

      Pemberian perlindungan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hukum internasional, atau kebiasaan internasional.


 

Dengan berlakunya UU Nomor 21  Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang berlaku, maka Pasal 297 dan Pasal 324 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

  

PROTOKOL UNTUK PENCEGAHAN, PENEKANAN DAN PENGHUKUMAN PERDAGANGAN MANUSIA. KHUSUSNYA PEREMPUAN DAN ANAK, MELENGKAPI KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TERHADAP KEJAHATAN TRANSNASIONAL YANG TERORGANISIR


 

Ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

pada tanggal 15 Nopember 2000


 

MUKADIMAH


 

Negara-negara Pihak Protokol ini,


 

Menyatakan bahwa tindakan-tindakan efektif untuk mencegah dan memerangi perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak-anak, membutuhan sebuah pendekatan internasional yang komprehensif di negara asal, negara transit dan negara tujuan yang mencakup langkah-langkah untuk mencegah perdagangan, untuk menghukum para pelaku perdagangan dan untuk melindungi korbankorban perdgangan manusia, termasuk melindungi hak asasi mereka yang diakui secara internasional,


 

Mempertimbangkan fakta bahwa, meskipun ada berbagai macam instrument internasional yang berisi aturan-aturan dan langkah-langkah praktis untuk memerangi exploitasi manusia, terutama perempuan dan anak-anak, namun tidak ada instrument universal yang menangani semua aspek perdagangan manusia,


 

Memperhatikan bahwa, dalam ketiadaan instrument semacam itu, orang-orang yang rentan terhadap perdagangan tidak akan mendapat perlindungan yang memadai,


 

Protokol untuk Pencegahan, Penekanan dan Penghukuman

Perdagangan Manusia, Khususnya Perempuan dan Anak


 

Mengingat resolusi Majelis Umum 53/111 tanggal 9 Desember 1998, yang Majelis memutuskan untuk membentuk sebuah komite ad hoc antar pemerintah tanpa batasan dengan tujuan mengelaborasi sebuah konvensi internasional yang komprehensif untuk melawan kejahatan transnasional yang terorganisir dan untuk membahas elaborasi dari, salah satunya, sebuah instrumen internasional yang menangani perdagangan terhadap perempuan dan anak-anak.


 

Meyakini bahwa dengan menambah Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Kejahatan Transnasional yang Terorganisir dengan sebuah instrumen internasional untuk pencegahan, penghentian, dan penghukuman perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak-anak, akanlah sangat bermanfaat untuk mencegah dan memerangi kejahatan tersebut,

Telah menyepakati hal-hal sebagai berikut:


 

BAB I.

KETENTUAN UMUM

Pasal 1. Hubungan dengan Konvensi Persrikatan Bangsa-Bansga

terhadap Kejahatan Transnasional yang Terorganisir

  1. Protokol ini melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Kejahatan Transnasional yang Terorganisir. Hal ini harus diinterpretasikan secara bersamaan dengan Konvensi tersebut.


     

  2. Ketentuan-ketentuan Konvensi haruslah berlaku secara mutatis mutandis terhadap protokol ini kecuali disebutkan sebaliknya dalam dokumen ini.


 

  1. Pelanggaran-pelanggaran sesuai dengan pasal 5 dari Protokol ini harus dianggap sebagai pelanggaranpelanggaran sesuai dengan Konvensi.


     

Pasal 2.

Pernyataann Tujuan

Tujuan-tujuan dari Protokol ini adalah :

  1. Untuk mencegah dan memerangi perdagangan manusia, dengan menaruh perhatian khusus terhadap perempuan dan anak-anak;
  2. Untuk melindungi dan membantu korban-korban perdagangan manusia, dengan menghormati secara penuh hak asasi mereka;

  3. Untuk pemajuan kerjasama diantara Negara-negara Pihak dalam rangka memenuhi tujuan-tujuan tersebut.

Pasal 3.

Penggunaan Istilah

Untuk tujuan-tujuan dari Protokol ini:

  1. Perdagangan manusia haruslah berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan atau menerima individu-individu, dengan cara mengancam atau penggunaan paksaan atau bentuk-bentuk kekerasan lainnya, penculikan, penipuan, kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan atau pemanfaatan sebuah posisi yang rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan ijin dari seseorang untuk memeiliki kontrol terhadap orang lain, dengan tujuan-tujuan untuk mengeksploitasi. Eksploitasi haruslah mencakup, pada tingkat paling minimum, eksploitasi prostitusi terhadap seseorang atau bentukbentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan, penghambaan atau penghilangan organ;


     


  2. Persetujuan dari seorang korban perdagangan manusia atas eksploitasi yang disengaja seperti yang tertera dalam sub ayat (a) pasal ini haruslah dianggap batal ketika cara-cara yang tertera dalam subayat (a) digunakan dalam tindak perdagangan atau eksploitasi tersebut;


     

  3. (c) Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seorang anak untuk tujuan eksploitasi harus dianggap sebagai "perdagangan manusia" meskipun jika hal ini tidak melibatkan cara-cara yang tertera dalam sub ayat (a) pasal ini:


 

  1. (d) "Anak-anak" harus berarti semua orang dibawah usia delapan belas tahun.


 


 

Pasal 4.

Wilayah Penerapan


 

Kecuali bila disebutkan lain, Protokol ini haruslah diberlakukan untuk pencegahan, investigasi dan penuntutan hukum atas pelanggaran-pelanggaran yang ditetapkan sesuai dengan pasal 5 Protokol ini, dimana pelanggaran-pelanggaran tersebut bersifat transnasional, dan melibatkan kelompok kejahatan terorganisir, dan harus diterapkan pula untuk perlindungan bagi korban dari pelanggaran-pelanggaran tersebut.


 

Pasal 5.

Kriminalisasi


 

  1. Setiap Negara Pihak harus menetapkan langkah-langkah legislatif dan langkah-langkah lain yang dianggap perlu untuk menetapkan tindakan-tindakan yang dinyatakan dalam pasal 3 protokol ini sebagai tindakan kriminal, ketika tindakan-tindakan dilakukan dengan sengaja.


     

  2. Setiap Negara Pihak juga harus menetapkan langkah-langkah legislatif dan langkah-langkah lain yang dianggap perlu untuk menjadikan hal-hal dibawah ini sebagai tindak kriminal:
    1. Tunduk kepada konsep dasar dari sistem hukumnya, percobaan untuk melakukan tindak-tindak pelanggaran yang ditetapkan sesuai dengan ayat 1 pasal ini;
    2. Terlibat sebagai kaki tangan dalam tindak pelanggaran yang ditetapkan sesuai dengan ayat 1 pasal ini; dan
    3. Mengorganisir atau menyuruh orangh lain untuk melakukan tindak pelanggaran yang ditetapkan sesuai dengan ayat 1 pasal ini.


       

BAB II.

PERLINDUNGAN BAGI KORBAN

PERDAGANGAN MANUSIA

Pasal 6.

Bantuan dan perlindungan bagi korban perdagangan manusia


 

  1. Dalam kasus-kasus yang layak dan yang sejauh mana dimungkinkan di bawah hukum nasional, setiap Negara Pihak harus melindungi privasi dan identitas dari korban perdagangan manusia, termasuk salah satunya, degan cara menerapkan proses hukum yang berhubungan dengan perdagangan.


     

  2. Setiap Negara Pihak harus memastikan bahwa hukum nasional atau sistem administrasinya memuat langkah-langkah yang memberikan korban perdagangan manusia hal-hal di bawah ini:
    1. Informasi mengenai proses pengadilan dan administratif yang relevan;
    2. Bantuan yang memungkinkan bagi pandangan-pandangan dan kekhawatiran- kekhawatiran mereka untuk bisa tersampaikan dan dipertimbangkan pada tahapan-tahapan yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan kriminal melawan para pelanggar, namun tetap dalam kerangka tidak merugikan hak terdakwa.


       

  3. Setiap Negara Pihak harus mempertimbangkan untuk mengimplementasikan langkah-langkah pemulihan fisik, psikologi dan sosial bagi korban perdagangan manusia, dalam kasus-kasus yang sesuai, bekerjasama dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, organisasi-organisasi lain yang relevan dan elemen-elemen masyarakat sipil lainnya, dan terutama dalam ketentuan-ketentuan:
    1. Tempat tinggal yang layak;
    2. Konseling dan informasi, terutama yang terkait dengan hak hukum mereka, dengan menggunakan bahasa yang bisa dimengerti oleh korban perdagangan mansusia;
    3. Bantuan medis, psikologi dan material; dan
    4. Kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan, pendidikan dan pelatihan-pelatihan.


       

  4. Dalam menerapkan ketentuan-ketentuan dalam pasal ini, setiap Negara Pihak harus mempertimbangkan umur, jender, dan kebutuhan-kebutuhan khusus korban perdagangan manusia, terutama kebutuhan-kebutuhan khusus anak-anak, termasuk didalamnya tempat tinggal, pendidikan dan pengasuhan yang layak.


     

  5. Setiap Negara Pihak harus berupaya keras untuk menjamin keselamatan fisik korban perdagangan manusia ketika mereka berada dalam wilayahnya.


 

  1. Setiap Negara Pihak harus memastikan bahwa sistem hukum nasionalnya memuat langkah-langkah yang menawarkan korban perdagangan manusia kemungkinan untuk mendapatkan kompensasi atas kerugian yang diderita.


     

Pasal 7

Status korban perdagangan manusia di Negara-negara penerima


 

  1. Sebagai tambahan atas pengambilan langkah-langkah menurut pasal 6 Protokol ini, setiap Negara Pihak harus mempertimbangkan untuk menetapkan langkah-langkah legislatif dan langkah-langkah lain yang layak yang memungkinkan korban perdagangan manusia untuk tetap tinggal di wilayahnya, sementara maupun permanen, dalam kasus-kasus tertentu.


     

  2. Dalam Mengimplementasikan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam ayat 1 pasal ini, setiap Negara Pihak harus memberikan pertimbangan yang layak atas faktor-faktor kemanusiaan dan kasih.


 

Pasal 8.

Pemulangan korban perdagangan manusia


 

  1. Negara Pihak dimana seorang korban perdagangan manusia menjadi warga negara atau dimana orang tersebut mendapatkan hak untuk menjadi penduduk tetap pada saat orang tersebut memasuki wilayah Negara Pihak penerima, harus memfasilitasi dan menerima kepulangan orang tersebut tanpa penundaan yang berlebihan dan tidak berlasan, dengan memperhatikan keselamatan orang tersebut.


     

  2. Ketika sebuah Negara Pihak memulangkan seorang korban perdagangan manusia ke Negara Pihak dimana orang tersebut adalah warga negaranya atau mendapat hak sebagai penduduk tetap, disaat orang tersebut memasuki wilayah Negara Pihak penerima, pemulangan semacam itu haruslah dengan memperhatikan keselamatan orang tersebut dan status dari tuntutan-tuntutan hukum apapun yang terkait dengan fakta bahwa orang tersebut adalah korban perdagangan manusia dan pemulangan tersebut lebih baik harus bersifat sukarela.


     

  3. Atas permintaan dari Negara Pihak penerima, Negara Pihak yang diminta, tanpa penundaan yang berlebihan atau tidak beralasan, harus memverifikasi apakah orang yang menjadi korban perdagangan manusia adalah warga negaranya atau mendapatkan hak sebagai penduduk tetap di dalam wilayahnya pada saat orang tersebut memasuki wilayah dari Negara Pihak penerima.


     

  4. Dalam rangka untuk memfasilitasi kepulangan seseorang korban perdagangan manusia yang tidak memiliki dokumen sebagaimana mestinya, seseorang yang merupakan warga negara dari Negara Pihak atau orang tersebut mendapat hak sebagai penduduk tetap pada saat orang tersebut memasuki wilayah Negara Pihak penerima, harus setuju untuk mengeluarkan dokumen perjalanan atau otorisasi lainnya yang dianggap perlu, sesuai dengan permintaan Negara Pihak penerima, untuk memungkinkan orang tersebut melakukan perjalanan dan masuk kembali ke dalam wilayahnya.


     


     

  5. Pasal ini tidak boleh merugikan hak korban perdagangan manusia yang mungkin disebabkan oleh hukum nasional Negara Pihak penerima.


     

  6. Pasal ini harus tanpa merugikan kesepakatan bilateral atau multilateral yang berlaku atau ketetapan yang mengatur, secara keseluruhan maupun sebagian, kepulangan korban perdagangan manusia.


 

BAB III.

PENCEGAHAN, KERJASAMA DAN LANGKAH-LANGKAH LAIN

Pasal 9.

Pencegahan Perdagangan


 

1. Negara-negara Pihak harus menetapkan kebijakan-kebijakan, program-program dan langkah-langkah lain yang komprehensif:

  1. Untuk mencegah dan memerangi perdagangan; dan
  2. Untuk melindungi korban perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak-anak, dari kemungkinan untuk menjadi korban kembali.


 

2. Negara-negara Pihak harus berupaya keras untuk melaksanakan langkah-langkah lain yang ditetapkan seperti penelitian, informasi dan kampanye media massa dan inisiatif-inisiatif sosial dan ekonomi untuk mencegah dan memerangi perdagangan.


 

3. Kebijakan-kebijakan, program-program, dan langkah-langkah lain yang ditetapkan sesuai dengan pasal ini haruslah, secara layak, menyertakan kerjasama dengan organisasi-organisasi lembaga swadaya masyarakat sipil lainnya.


 

4. Negara-negara Pihak harus mengambil atau memperkuat langkah-langkah lain, termasuk melalui kerjasama bilateral atau multilateral, untuk menekan faktor-faktor yang menyebabkan orang-orang, terutama perempuan dan anak-anak, menjadi rentan terhadap perdagangan, seperti misalnya kemiskinan, keterbelakangan pembangunan dan kurangnya kesempatan yang setara.


 

5. Negara-negara Pihak harus mengadopsi atau memperkuat langkah-langkah legislatif dan langkahlangkah lainnya, seperti halnya langkah-langkah pendidikan, sosial dan budaya, termasuk melalui dan multilateral, untuk mencegah tuntutan-tuntutan yang bisa menyebabkan terjadinya segala bentuk eksploitasi, dan nantinya bisa mengarah menjadi perdagangan, terutama terhadap perempuan dan anak-anak.


 

Pasal 10.

Pertukaran informasi dan pelatihan


 

  1. Penegakan hukum, otoritas imigrasi dan pihak berwenang lainnya yang relevan dari Negara-negara Pihak haruslah secara layak bekerjasama satu sama lain dengan cara bertukar informasi, sesuai dengan hukum nasional mereka, untuk memungkinkan mereka menentukan:
    1. Apakah seorang individu yang menyeberangi atau mencoba menyeberangi perbatasan internasional dengan dokumen perjalanan yang sebenarnya adalah milik orang lain ataupun tanpa dokumen perjalanan adalah seorang pelaku atau korban perdagangan manusia;
    2. Jenis-jenis dokumen perjalanan yang digunakan atau dicoba untuk digunakan oleh individu-individu tersebut untuk menyeberangi perbatasan internasional memiliki tujuan perdagangan manusia..
    3. Alat-alat dan metode-metode yang digunakan oleh kelompok-kelompok kejahatan yang terorganisir untuk tujuan perdagangan, termasuk pengerahan dan transportasi korban, rute-rute dan hubungan-hubungan antara dan dalam individu-individu dan kelompok-kelompok yang terlibat dalam perdagangan semacam itu, dan langkah-langkah yang memungkinkan untuk mendeteksi mereka.
  2. Negara-negara Pihak harus menyediakan atau memperkuat pelatihan untuk penegakan hukum, imigrasi dan pejabat-pejabat lain yang relevan dalam pencegahan perdagangan manusia. Pelatihan harus difokuskan pada metode-metode yang digunakan dalam pencegahan perdagangan tersebut, menghukum para pelaku perdagangan dan melindungi hak para korban, termasuk melindungi para korban dari pelaku-pelaku perdagangan manusia. Pelatihan yang diselenggarakan juga harus mempertimbangkan hak manusia dan persoalan-persoalan yang sensitif terhadap anak-anak dan gender dan juga harus mendorong kerjasama dengan organisasi-organisasi lembaga swadaya masyarakat, organisasi-organisasi lainnya yang relevan dan elemen-elemen masyarakat sipil lainnya.


     

  3. Negara Pihak yang menerima informasi harus bertindak sesuai dengan permintaan dari Negara Pihak yang menyampaikan informasi tersebut yang menempatkan pembatasan-pembatasan tempat dalam penggunaanya.


 

Pasal 11.

Aturan-aturan di perbatasan

  1. Tanpa merugikan komitmen internasional dalam hubungannya dengan kebebasan untuk bergerak bagi semua orang. Negara-negara harus memperkuat, sejauh mana dimungkinkan, pengawasan perbatasan yang dianggap perlu untuk mencegah dan mendeteksi perdagangan manusia.


     

  2. Setiap Negara Pihak harus mengadopsi langkah-langkah legislatif atau langkah-langkah lain yang dianggap pantas untuk mencegah, sejauh mana dimungkinkan, alat-alat transportasi yag dioperasikan oleh perusahaan-perusahaan komersial digunakan untuk tindakan pidana seperti yang ditetapkan sesuai dengan pasal 5 Protokol ini.


     


     

  3. Bila dianggap pantas, dan tanpa merugikan konvensi-konvensi internasional yang berlaku, langkahlangkah tersebut harus mencakup perusahaan-perusahaan transportasi atau pemilik atau operator alat-alat transportasi jenis apapun, untuk memastikan bahwa semua penumpang memiliki dokumen perjalanan yang disyaratkan untuk memasuki negara penerima.


     

  4. Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan, sesuai dengan hukum nasionalnya, untuk menjatuhkan sanksi-sanksi bagi pelanggaran kewajiban yang tertera dalam ayat 3 pasal ini.


     


     

  5. Setiap Negara Pihak harus mempertimbangkan untuk mengambil langkah-langkah yang mengijinkan, sesuai dengan hukum nasionalnya, penolakan masuk atau pencabutan visa orang-orang yang terlibat tindak pidana sebagaimana telah ditetapkan sesuai dengan Protokol ini.


     

  6. Tanpa merugikan pasal 27 dari konvensi ini, Negara-negara Pihak harus mempertimbangkan memperkuat kerjasama diantara badan-badan pengawas perbatasan, salah satunya dengan cara menjalin dan menjaga hubungan-hubungan komunikasi langsung.


 

Pasal 12

Keamanan dan pengawasan dokumen


 

Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah yang diangap penting, di dalam alat-alat yang tersedia sebagai berikut;

  1. Memastikan bahwa dokumen perjalanan atau dokumen identitas yang mereka keluarkan memiliki kualitas yang tidak mudah disalahgunakan dan tidak dengan mudah dipalsukan atau secara tidak sah dirubah, digandakan atau dikeluarkan lagi; dan
  2. Memastikan integritas dan keamanan dokumen perjalanan ataupun dokumen identitas yang dikeluarkan oleh atau atas nama Negara Pihak dan untuk mencegah pembuatan, pengeluaran dan penggunaan yang tidak sah secara hukum.


 

Pasal 13.

Legitimasi dan keabsahan dokumen


 

Berdasarkan permintaan Negara Pihak yang lain, sebuah Negara Pihak, sesuai dengan hukum nasionalnya, haruslah menjelaskan legitimasi dalam jangka waktu yang sesuai dan keabsahan dokumen perjalanan atau identitas yang dikeluarkan atau yang dinyatakan, telah dikeluarkan olehnya dan diduga digunakan untuk tindak perdagangan manusia.


 

BAB IV.

KETENTUAN-KETENTUAN AKHIR

Pasal 14.

Klausa-klausa pengamanan


 

  1. Tidak satupun dalam Protokol ini yang mempengaruhi hak-hak, kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab Negara dan individu berdasarkan hukum internasional, termasuk hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi inetrnasional dan, terutama, apabila berlaku, Konvensi 1951 dan Ptotokol 1967 yang terkait dengan Statuts Pengungsi dan prinsip tidak memperbolehkan repatriasi atau dikembalikan ke tempat asal (Non-Refoulement sebagaimana disebutkan dalam konvensi dan protocol tersebut).


     

  2. Langkah-langkah yang tertera dalam Protokol ini harus diinterpretasikan dan dilaksanakan di dalam sebuah cara yang tidak mendiskriminasikan siapapun dengan dasar bahwa mereka adalah korban perdagangan mausia. Interpretasi dan pelaksanaan langkah-langkah tersebut haruslah konsisten dengan prinsip-prinsip yang diakui secara internasional.


     

Pasal 15.

Penyelesaian Sengketa


 

  1. Negara-negara Pihak harus berupaya dengan keras untuk menyelesaikan sengketa yang terkait dengan interpretasi dan pelaksanaan Protokol ini melalui negoisasi.


     

  2. Sengketa apapun yang terjadi di antara dua Negara Pihak atau lebih yang terkait dengan interpretasi dan pelaksanaan Protokol ini yang tidak bisa diselesaikan melalui negoisasi dalam waktu tertentu, berdasarkan permohonan salah satu dari Negara Pihak yang bersengketa, dapat diajukan kepada arbitrase. Jika, dalam waktu enam bulan setelah tanggal permohonan arbitrase, Negara-negara Pihak yang berselisih tidak dapat mencapai kesepakatan atas arbitrase tersbut, maka salah satu dari Negara Pihak yang berselisih tersebut dapat menyerahkan sengketa tersebut kepada Mahkamah Internasional dengan permohonan yang sesuai dengan Statuta Mahkamah Internasional.


     

  3. Setiap Negara Pihak, pada saat penandatanganan, ratifikasi, penerimaan atau persetujuan, aksesi atas Protokol ini, dapat menyatakan bahwa dirinya tidak mau terikat dengan ayat 2 pasal ini. Negaranegara Pihak yang lain tidak terikat dengan ayat 2 pasal ini bila berkaitan dengan Negara Pihak yang mengajukan pensyaratan ini.


     

  4. Negara Pihak yang telah mengajukan pensyaratan sesuai dengan ayat 3 pasal ini boleh setiap saat mencabut pensyaratan tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.


 

Pasal 16.

Tandatangan, pengesahan, penerimaan, persetujuan dan aksesi


 

  1. Protokol ini terbuka bagi semua Negara untuk menandatangani dari tanggal 12 sampai 15 Desember 2000 di Palermo, Italia, dan setelah masa itu bisa dilakukan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York sampai batas waktu 12 desember 2002.


     

  2. Protokol ini juga terbuka bagi penandatanganan oleh organisasi-organisasi regional yang bersatu dalam hal ekonomi, apabila setidaknya satu dari anggotanya telah menandatangani Protokol ini sesuai dengan ayat 1 pasal ini.


     

  3. Protokol ini dapat diratifikasi, penerimaan atau persetujuan, instrumen-instrumen ratifikasi, penerimaan atau persetujuan harus disimpan pada Sekretaris Jenderal perserikatan Bangsa-Bangsa. Suatu organisasi integrasi ekonomi regional boleh menyerahkan naskah pengesahan, penerimaan atau persetujuannya jika paling tidak salah satu Negara anggotanya telah melakukan hal yang sama. Dalam naskah pengesahan, penerimaan atau persetujuannya, organisasi tersebut harus mendeklarasikan tingkat kompetensinya sesuai dengan hal-hal yang diatur dalam protokol ini. Organisasi macam ini juga harus menginformasikan penyerahan modifikasi-modifikasi apapun yang relevan terkait dengan kompetensinya.


     

  4. Protokol ini terbuka untuk diaksesi oleh Negara atau organisasi integrasi ekonomi regional manapun, yang paling tidak salah satu dari Negara anggotanya adalah Pihak dari Protokol ini. Instrumeninstrumen aksesi ini harus disimpan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada saat aksesi ini disampaikan, sebuah organisasi integrasi ekonomi regional harus mendeklarasikan tingkat kompetensinya yang sesuai dengan hal-hal yang diatur dalam Protokol ini. Organisasi semacam ini juga harus menginformasikan penyerahan modifikasi apapun yang relevan terkait dengan kompetensinya.


 

Pasal 17.

Pemberlakuan


 

  1. Protokol ini mulai berlaku pada hari kesembilan puluh setelah tanggal penyerahan naskah ratifikasi, penerimaan, persetujuan atau aksesi yang keempat puluh, kecuali bahwa Protokol ini tidak boleh berlaku sebelum Konvensi berlaku. Untuk tujuan dari ayat ini, instrumen yang disetorkan oleh sebuah organisasi integrasi ekonomi regional tidak boleh dihitung sebagai tambahan dari yang telah diserahkan oleh Negara anggota organisasi tersebut.


     

  2. Untuk setiap Negara atau organisasi integrasi ekonomi regional yang meratifikasi, menerima, menyetujui atau mengaksesi Protokol ini setelah penyerahan instrumen keempat puluh dari tindakan semacam itu, Protokol ini harus mulai diberlakukan pada hari ketiga puluh setelah tanggal penyerahan naskah yang relevan oleh Negara atau organisasi semacam itu atau pada saat Protokol ini diberlakukan menurut aturan dari ayat 1 pasal ini, atau manapun yang belakangan.


 

Pasal 18.

Amandemen


 

  1. Setelah berakhirnya lima tahun masa berlakunya Protokol ini, sebuah Negara Pihak Protokol ini boleh mengusulkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang segera setelah pengkomunikasian usulan amandemen kepada Negara-negara Pihak dan kepada Konferensi Pihak-Pihak dari Konvensi dengan tujuan untuk mempertimbangkan dan mengambil keputusan dari proposal yang diajukan. Negara-negara Pihak Protokol ini yang bertemu di konferensi Pihak-Pihak harus melakukan semua upaya untuk mencapai konsensus telah dilakukan namun tidak bisa mencapai kesepakatan, sebagai jalan terakhir, amandemen tersebut dapat, sebagai jalan terakhir, meminta penetapannya dengan pemungutan suara mayoritas dua-pertiga dari negara pihak dari Protokol yang hadir dan terlibat pengambilan suara dalam konferensi Pihak-Pihak tersebut.


     

  2. Organisasi-organisasi integrasi ekonomi regional, dalam hal-hal di wilayah kompetensinya, boleh menjalankan hak mereka untuk memilih dibawah pasal ini dengan jumlah suara yang setara dengan jumlah Negara anggota mereka yang menjadi Pihak dari Protokol ini. Organisasi-organisasi semacam ini tidak bias mendapatkan hak suara jika Negara anggota mereka sudah menjalankan haknya dan demikian pula sebaliknya.


     

  3. Suatu amandemen yang ditetapkan sesuai dengan ayat 1 pasal ini menjadi subyek ratifikasi, penerimaan atau persetujuan oleh Negara-negara Pihak.


     

  4. Suatu amandemen yang diterapkan sesuai dengan ayat 1 pasal ini harus mulai diberlakukan oleh sebuah Negara Pihak dalam masa sembilan puluh hari setelah tanggal penyerahan instrumen ratifikasi, penerimaan atau persetujuan amandemen kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa


     

  5. Suatu amandemen mulai diberlakukan, memiliki kekuatan mengikat terhadap semua Negara-negara Pihak yang menyatakan kesepakatan mereka untuk menjalankannya. Negara-negara Pihak lainnya masih harus terikat ketentuan-ketentuan Protokol ini atau amandemen-amandemen yang dilakukan sebelumnya yang sudah mereka ratifikasi, terima atau setujui.


 

Pasal 19.

Penarikan diri


 

  1. Suatu Negara Pihak boleh menarik diri dari Protokol ini dengan mengirimkan pemberitahuan tertulis kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penarikan diri ini akan menjadi efektif setelah salah satu tahun dari tanggal penerimaan surat pemberitahuan oleh Sekretaris Jenderal.


     

  2. Organisasi integrasi ekonomi regional harus berhenti menjadi Pihak Protokol ini bila semua Negara anggotanya menarik diri mereka atas Protokol ini.


 

Pasal 20.

Penyimpanan dan bahasa


 

  1. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa ditugaskan untuk melakukan penyimpanan Protokol ini.


     

  2. Naskah asli dari Protokol ini terdapat dalam bahasa Arab, Cina, Inggris, Prancis, Rusia dan Spanyol yang mempunyai keaslian yang sama dan disimpan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.


     


     

Dengan kesaksian ini, para penandatangan, yang diberi wewenang dengan semestinya untuk menghormati Pemerintah, telah menandatangani Protokol ini.


 

Keterangan : Protokol ini sering disebut denan PROTOKOL PALERMO dan diberlakukan pada tanggal 25 Desember 2003.


 

Sumber dari : Institute for Criminal Justice Reform